Tidak nampak lagi runtut awan yang ada kemarin. Nampaknya hujan deras semalam suntuk telah membilas langit Ruteng menjadi bersih, biru benderang. Kabut tipis serau menggantung rendah di lembah nan jauh, mengalasi kaki dataran tinggi Manggarai Tengah yang berlekuk-lekuk apik. Ruteng
Month: May 2016
Santa Maria Berduka Cita
Hari sudah gelap ketika kami menjejakkan kaki di kota Ruteng yang dingin. Rekomendasi Lonely Planet mengantar kami pada sebuah biara suster Katholik, Susteran Santa Maria Berdukacita. Mau bagaimana lagi, namanya memang demikian. Namun biara ini ternyata jauh sekali dari kesan
Kemalaman di Kota Ruteng
Langit sudah merah terbakar ketika saya dan Lomar melompat masuk ke kursi tengah mobil travel. Mobil yang terlambat itu pun digeber melintasi padang rumput dari Labuan Bajo menuju ke Ruteng. Sebelum Kabupaten Manggarai dipecah-pecah menjadi tiga, Ruteng adalah ibukota bagi
Kaledo, Kaki Lembu Donggala
Pemberhentian singkat di Donggala mempertemukan saya dengan rumah makan kecil. Simbak yang menunggui pembeli nampak tersenyum sumringah melihat kedatangan saya. Sepertinya sih karena warung ini sepi-sepi saja dari tadi. Daftar menu disodorkan dan pandangan saya langsung tertuju ke kaledo. Bukan
Palu, Kawasan Ekonomi Khusus
Satu mata rantai terpotong. Kawasan Ekonomi Khusus bukan hanya sekedar status, bagi Palu ini mempunyai makna dan implikasi yang jauh lebih besar. Kini perekonomian Palu tidak lagi berada di bawah komando Jakarta. Dengan demikian Palu mempunyai hak mengatur sendiri investasinya
Kehangatan Pagi di Palu
Hangatnya pagi adalah preambule akan panasnya siang. Udara gerah menaungi sempadan Pantai Talise, mencucurkan peluh dari dahi kendatipun hari masih terlampau dini. Di sana pemandangan lautan tenang terhampar luas di sebalik Jembatan Palu yang kuning terang melengkung bak logo McDonald’s
Palu Ternyata Bukan Martil
Hikayat berkisah bahwa tanah ini dulu adalah hampar perairan dangkal. Entah lantaran aktivitas tektonis atau pendangkalan berlebih, terangkatlah tanah ini menjadi sebuah lembah di cekungan Donggala. Topalu’e, tanah yang terangkat, demikian dalam Bahasa Kaili. Palu bukan martil. Jauh dari kesan
Selamat Datang di Kota Palu
Mobil travel yang saya tumpangi dari Poso melaju kencang seakan girang bertemu aspal mulus setelah seharian melalui jalanan berbatu. Hujan yang melanda pesisir Sulawesi Tengah membaur dengan pekat malam seakan tidak sanggup membujuk sopir untuk meningkatkan kewaspadaan akan kegelapan. Mungkin
Sekejap di Balla Lompoa
Sebenarnya siang itu hujan. Namun Rudy dan saya santai saja dan nekat bermotor dari Makassar ke Sungguminasa. Mulai dari berdebat gara-gara GPS yang kurang akurat hingga tersasar menuju arah yang berlawanan, akhirnya kami tiba juga di situs bekas Kerajaan Gowa.
Arboretum Nyaru Menteng
“Sudahlah, saya antar kamu ke sana lima puluh ribu saja,” jawab si tukang ojek sambil menyerahkan helm kusamnya ke tangan saya. Saya tidak punya pilihan sebab mau naik apa lagi ke sana. Dan demikianlah kami meluncur kurang lebih tiga puluh