Semakin malam jalanan Bagansiapiapi semakin ramai, bukan hanya oleh kendaraan yang simpang siur seakan semua ruas jalan adalah jalan dua arah, namun juga oleh para pedagang durian dan kedai-kedai kopi. Tentu tidak mungkin bagi saya untuk membawa durian masuk ke
Month: June 2018
Rumah Sang Kapitan Bagan
Barangkali hanya catatan Belanda itu yang sanggup dijadikan referensi, Oey I Tam adalah juragan garam dengan penghasilan tahunan mencapai 112.000 gulden. Selebihnya pencarian mencari nama sang kapitan di internet tidak membuahkan hasil. Agaknya menggelikan apabila jejak sang kapitan nyaris tidak
Perjanjian Setan dan Manusia
Pada penghujung dekade 1920-an, Bagansiapiapi dilanda kehebohan. Kota penghasil ikan yang terletak di pesisir Sumatera ini diganggu oleh hantu-hantu poltergeist. Mulai dari rumah makan, kedai kopi, hingga tempat hiburan disusupi oleh hantu-hantu yang mengganggu ketenangan warga Bagansiapiapi. Biksu-biksu menengarai bahwa
Di Ambang Sungai Rokan
Panasnya udara siang itu benar-benar jahanam. Saya berteduh di bawah pondok bambu beratap rumbia bersama seorang bapak tua yang nampak terdiam di tepi sungai. Seorang pria tua lain berjalan mendekat kemudian berlutut di tepi sungai dan mulai mengikat batang-batang kayu.
Relik dari Kota Bagansiapiapi
“Beneran mau turun di sini?” tanya si sopir setengah tidak percaya ketika saya bilang saya mau turun di depan patung ikan yang menjadi pintu sambutan Kabupaten Rokan Hilir. Mobil berhenti. Saya melompat turun dari mobil menepi ke trotoar. Kemudian mobil
Metro, Kota Kedua Lampung
“Kalau Metro enak, masih banyak pohonnya,” celetuk Pak Alex yang menyopiri mobil kami dari Sukadana menuju ke Metro, “Setidaknya di sini belum seruwet Bandar Lampung. Tapi kalau dibiarkan sih sebentar lagi juga bakal kaya gitu.” Nama Metro sendiri sebenarnya cukup
Ujung Jejak Gajah Sumatera
Dahulu kawasan timur Lampung adalah hutan lebat. Namun kini sebagian telah rusak, setengahnya menjadi semak belukar dan setengahnya lagi menjadi sawah ladang. Semak belukar adalah ulah para gajah Sumatera yang gemar merubuhkan pepohonan dan menghabiskan pohon-pohon kecil hingga mereka sulit
Bersama Sang Nenek Gajah
Namanya Katijah. Dia adalah anggota dari generasi pertama para gajah di Taman Nasional Way Kambas ketika kawasan konservasi ini pertama kali dibuka oleh pemerintah pada medio 1980-an. Sebagai penghuni tertua di taman nasional tertua milik Indonesia, tentu saja ada prestise
Para Penghuni Way Kambas
Rerumputan tinggi yang saya pijak ternyata amblas. Maka hancurlah sepatu saya terbenam di dalam lapisan lumpur. Bukan sekali dua kali saja, tetapi berkali-kali. Nampaknya kawasan terbuka Taman Nasional Way Kambas yang berlapis semak-semak ini tidak sedatar dan setegar yang saya
Way Kambas yang Meredup
“Oh, lagi nggak ada pertunjukan,” kata Pak Tugiyo yang kami temui di depan loket arena pertunjukan di Way Kambas. Wajahnya hanya terlihat nyengir kecil ketika saya menanyakan apakah ada pertunjukan yang bisa kami saksikan di sana. “Tetapi saya boleh masuk?”