Damai Itu Indah. Pandangan saya belum bisa lepas dari rentangan spanduk-spanduk hijau di tepi jalan raya yang bertuliskan kata-kata yang sama. Entah berapa banyak spanduk serupa yang saya temukan di sepanjang jalan menuju Bireuen. Bak sebuah konvensi, “Damai Itu Indah” punya satu makna sebagai kata sambutan : selamat datang di daerah konflik.
Ya. Tidak ada spanduk “Damai Itu Indah” di Bogor, Pekanbaru, atau Denpasar. Spanduk-spanduk seperti ini hanya pernah saya lihat di Papua, Sulawesi Tengah, dan kemudian di sini. Aceh.
Teruntuk yang memahami sejarah kontemporer kota ini, tentu tidak mengherankan lagi lantaran Bireuen memang ditengarai sebagai kota basis Gerakan Aceh Merdeka. Saya melintas di kota ini empat tahun setelah tsunami dan kemudian bersinggah di sini delapan tahun setelahnya, Bireuen telah banyak berubah meskipun bekas konflik itu masih terasa membayang.
Di bawah basuh gerimis yang malas-malasan, saya menyusuri lorong-lorong sempitnya, menutup tudung jaket dan berjalan cepat. Tidak ada yang janggal di kota yang digadang-gadang menjadi ibukota Negara Aceh Darussalam ini, terkecuali hampir di setiap sudutnya tampak tentara-tentara berpakaian loreng-loreng berbaur dengan warga. Di dalam warung kopi ada tentara, di emperan masjid ada tentara, di sebelah gerobak bakul akik pun ada tentara.
“Dulu kalau sesudah jam lima lewat, semua sembunyi di rumah,” kelakar Yudi yang menyediakan rumahnya untuk menampung saya malam nanti, “Tidak ada yang berani keluar, soalnya hampir setiap hari ada tembak-tembakan, apalagi di depan tugu sana.”
Tetapi sekarang sudah tidak ada. Sudah lama sekali tidak ada kontak senjata di tanah ini, bahkan keseharian para tentara pun lebih banyak berbaur dengan penduduk, yang mungkin sebagian dari antara penduduk itu dulunya juga anggota GAM.
Sejujurnya memang tidak banyak yang dapat dilihat di kota ini. Yudi mengantar saya berjalan berkeliling, belum setengah jam seluruh kota sudah habis dikitari. Selebihnya senja kami habiskan untuk menikmati, lagi-lagi, kopi di salah satu warung yang ada di tepian kota bersama Andik.
“Jujur saja sekarang tidak banyak yang bisa dilihat di sini,” ucap Yudi sembari menyesap sisa-sisa sigaret terakhirnya, “Tetapi saya lebih suka kalau seperti ini. Daripada dulu kita setiap hari punya tontonan orang tembak-tembakan.”
Bireuen kembali berdenyut. Setelah perdamaian, tujuan berikutnya adalah pembangunan.