Sokka adalah desa yang hidup dari sebuah industri yang kurang lazim, genteng. Genteng Sokka mempunyai sejarah panjang berabad-abad lampau, berawal dari kebiasaan masyarakat Kebumen membuat tembikar. Keahlian membuat kerajinan gerabah dicetus Sokka turun temurun, hingga akhirnya desa ini menjadi sentra
Jawa Tengah
Di Tepinya Sungai Serayu
Indah murni alam semesta, Tepi Sungai Serayu, Sungai pujaan bapak tani, Penghibur hati rindu. Dendang langgam keroncong gubahan begawan Soetejda mengiringi perlepasan kereta-kereta dari Stasiun Kroya. Memang tidak selazimnya sebuah stasiun dilatari musik keroncong. Beberapa dekade sudah langgam bertajuk “Di
Bank Mandiri di Kota Lama
Bangunan uzur yang berdiri di hadapan saya ini dulunya pernah mengendalikan perdagangan di seantero pantai utara Jawa. Adalah Nederlandsche Handel Maatschaappij yang berkantor di gedung ini. Namun semenjak tahun lalu, Bank Mandiri melakukan restorasi besar-besaran terhadap gedung ini dan menjadikannya
Jejak Historia Kota Lama
“Empat penari membikin hati menjadi senang, aduh, Sungguh kayanya tari mereka Gambang Semarang.” Ia adalah pernyataan artistik sejati dari benci tapi rindu. Di sudut kafe sempit itu, dendang Gambang Semarang mengalun rancak menyesaki ruangan yang dipisahkan oleh sebilah kaca dengan
Old City Trick Art Museum
“Berapa harga tiketnya?” tanya saya kepada mbak-mbak penjaga museum yang mirip bar film koboi ini. “Satu orang? Lima puluh ribu, Mas!” serunya menjawab dari balik teralis. Mahal. Untuk standar Kota Semarang, uang lima puluh ribu setara dengan tiga kali makan.
Di Jantung Tua Semarang
Lengking panjang peluit memecah lamunan saya. Lokomotif uzur ini mengakhiri perjalanan di Stasiun Tawang lebih siang daripada seharusnya. Di sinilah jantung Kota Semarang. Di sinilah pusat kota yang pernah menjadi bandar terbesar di nusantara pada era kolonialisme. Di seluar Stasiun
Selamat Hari Waisak 2017
Candi Borobudur adalah candi Buddhis terbesar di dunia. Bangunan tunggal yang masif ini berkali-kali pernah mengalami pemugaran maupun pengrusakan baik secara alamiah maupun gara-gara teror bom. Foto ini saya ambil sekitar empat belas tahun silam, ketika sedang berkunjung ke Kota
Atas Nama Ronggowarsito
“Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, Mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, Boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, Ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, Luwih begja kang éling klawan waspada.” – Ronggowarsito, Tembang Sinom Raden Ngabehi Ronggowarsito kondang tak
Jejak Laksamana Cheng Ho
Banyak yang berkata bahwa perjalanan adalah ujian keberanian. Namun pengalaman saya membuktikan bahwa perjalanan lebih kepada ujian kesabaran, ini soal kelapangan hati ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana ataupun kehabisan stok rencana. Dan soal ini sebanyak apapun pengalaman, sepantasnya saya
Klenteng Sam Poo Kong
“Marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an,” sebuah transkrip lirik di Klenteng Sam Poo Kong ini ditengarai sebagai sinyal kuat bahwa Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim. Benarkah? Entahlah. Catatan Liang Qi Chao tidak pernah secara eksplisit bicara ihwal