Jalanan di Kepahiang adalah lorong yang diapit pohon-pohon tanpa cabang yang berdiri tegak lurus layaknya pagar pekarangan. Di sebaliknya hampar hijau kebun teh melingkungi kawasan Kepahiang Kabawetan dalam satu sebaran yang berujung pada hutan tropis di ujung sana yang mana
Danau Mas Harun Bastari
Disebut Danau Mas karena warna permukaannya agak kekuningan seperti emas. Demikianlah menurut sebuah tulisan saya saya cerabut dari internet. Lantaran tulisan tersebut pulalah saya harus bersusah payah memicingkan mata mencari kekuningan yang dimaksud. Sejauh mata memandang hanya terlihat sebuah danau
Bukit Kaba Berselimut Kabut
Halimun turun setinggi hidung. Saya berdiri di ambang tebing Bukit Kaba, menatap jauh ke arah kawah gunung yang tertutup oleh gugus-gugus kabut tebal. Sebenarnya saya menantikan tersibaknya kabut agar pemandangan cantik di depan sana terhampar jelas, sayangnya sedari tadi cuaca
Kabut Tebal di Bukit Kaba
Kabut yang turun semakin ditunggu malah semakin tebal. Tidak terlihat ada apapun di bawah sana. Cindy dan saya menunggui di puncak bukit sembari diterpa ciprat-ciprat air gerimis yang turun dengan agak segan. Padahal kami tahu ini adalah puncak yang berbahaya.
Berjibaku Menuju Bukit Kaba
Naik ke Bukit Kaba ibarat berkendara di atas permukaan bulan. Jalanan yang hanya selebar rentangan kaki dengan permukaan bercampur antara bebatuan keras dan lumpur becek membuat sepeda motor yang kami tumpangi harus terseok-seok dalam penanjakan yang lebih cocok ditaklukkan dengan
Rafflesia Arnoldii nan Raksasa
“Tidak ada yang mekar sekarang, dua minggu lagi, Bang!” pesan singkat dari Pak Zul tersebut menyudahi niatan saya untuk membelokkan rute dari Pagaralam. Namun yang jelas dua minggu kemudian saya kembali ke Tanah Pasemah. Bukan lagi Tanah Pasemah tujuan saya,
Berburu Rafflesia di Bengkulu
Rafflesia Mekar. Sebaris tulisan corat-coret merah di spanduk kumal yang terpancang di tepi jalan lintas Kepahiang mengalihkan perhatian kami. Pak Yono menepikan mobil ke bahu jalan yang berlumpur. Saya melompat turun dan menyapa seorang bapak tua yang berdiri di bawah
Kuwah Itek Khas Bireuen
Orang sini menyebutnya sie itek, secara harafiah artinya kuah itik. Kuliner khas Bireuen ini punya kuah kental dengan rempah-rempah yang rancak memadu rasa pedas manis yang tiada duanya. Belum makan pun baunya sudah semerbak memenuhi udara restoran yang tidak terlampau
Lagi-Lagi Warung Kopi
Apabila saya berpikir sekembali dari Gayo tidak akan berjumpa kopi untuk sejenak, saya salah besar. Hanya sesaat setelah meninggalkan Takengon dan singgah di Bireuen, saya harus lagi-lagi bertemu dengan kopi. Sama seperti Dataran Tinggi Gayo, warga kawasan dataran rendah ini
Mengunjungi Kota Basis GAM
Damai Itu Indah. Pandangan saya belum bisa lepas dari rentangan spanduk-spanduk hijau di tepi jalan raya yang bertuliskan kata-kata yang sama. Entah berapa banyak spanduk serupa yang saya temukan di sepanjang jalan menuju Bireuen. Bak sebuah konvensi, “Damai Itu Indah”