Jalan Pagi di Tangkahan

Belum pukul enam. Yang melindungi saya dari hembus dinginnya pagi hanyalah selembar kaos dan jaket parasut. Seorang diri saya berjalan menyusuri sungainya yang bergemericik pelan. Beberapa petugas taman nasional nampak sudah bangun pagi-pagi mempersiapkan dedaunan muda untuk pakan gajah.

Tangkahan mengalami dua dekade transformasi. Dua puluh tahun yang lampau, tempat ini adalah basis pembalakan liar, perusakan hutan yang tidak bertanggung jawab. Namun seiring dengan pendongkrakan statusnya menjadi cagar alam, alam Tangkahan seakan bersolek kembali.

Simon mengajak kami berjalan kaki melintasi perkebunan sawit untuk mencari sarapan pagi di kampung sebelah. Antara taman nasional dan perkebunan sawit hanya dipisahkan oleh aliran sungai. Sebelah kiri kebun sawit. Sebelah kanan hutan lindung.

Diapit oleh dua desa, Namo Sialang dan Sei Serdang, wilayah konservasi Tangkahan adalah bagian besar dari Taman Nasional Gunung Leuser. Luasannya mencapai delapan ratus ribu hektar. Tempat tinggal bagi seribu spesies flora dan fauna. Selain gajah dan harimau, penghuni Tangkahan yang cukup beken adalah tikus Meranti, rusa sambar, dan monyet berambut gangster, Thomas Peak Monkey.

“Dulu saya sedih lihat tempat ini,” kata seorang bapak uzur di warung yang kami singgahi. Asap kretek tebal senantiasa mengepul dari mulutnya seperti mesin uap.

Kami hanya terdiam menunggu-nunggu bapak itu melanjutkan kalimatnya.

“Tetapi sekarang perusakan itu sudah tidak ada. Malah kemarin-kemarin kami dapat penghargaan dari pemerintah pusat karena pelestarian alam,” pungkasnya.

Tidak salah. Tangakahan memang cantik. Bekas perusakan itu nyaris tidak terlihat.