Taman Sota di Ujung Negeri

Mereka bilang ini taman paling akhir di ujung Indonesia. Sebagian lagi bilang ini taman pertama di pintu masuk Indonesia. Segalanya tentu saja bergantung dari mana kita memandangnya. Telusuran jalan beraspal sejauh tiga ratus meter dari pintu gerbang perbatasan membawa saya kepada Taman Sota, sebuah taman yang bersinggungan dengan titik terluar negeri ini.

Taman ini luasannya hanya sekitar dua kali lapangan tenis. Pada ujungnya terdapat tugu patok perbatasan yang dikurung oleh lengkungan setengah lingkaran bercorak merah putih. Melangkahi tugu itu berarti meninggalkan Republik Indonesia dan memasuki wilayah negara Papua Nugini, namun sejauh mata memandang, di seberang sana hanya terdapat hutan.

Usut punya usut memang perkampungan terdekat Papua Nugini terletak lima belas kilometer masuk dari perbatasan negeri. Sebuah jarak yang tidak pendek tentunya. Keterbatasan infrastruktur di sisi Papua Nugini juga menyebabkan Sota mempunyai tanggungan ganda. Sebut saja rumah sakit dan sekolah. Di kecamatan yang terletak pada ujung paling timur Indonesia ini, sekolah-sekolah negeri banyak menerima murid dari Papua Nugini sehingga pelajaran kerap diberikan dalam Bahasa Inggris amburadul.

Saya menatap lekat-lekat dua orang pria bertubuh tinggi besar bercambang lebat dan berpakaian lusuh yang sedang melapor di pos penjagaan tentara Indonesia. Kedua warga Papua Nugini yang apabila berada di Jakarta sudah barang tentu penampilannya menjadi ‘gelandangan di antara kaum gelandangan’ itu sedang mengurus izin masuk Indonesia untuk membeli barang keperluan sehari-hari.

Di sisi Indonesia, meskipun Sota masih jauh daripada kesan maju, namun setidaknya sudah ada rumah permanen, toilet umum, taman bunga, sekolah, puskesmas, pasar tradisional, hingga pos keamanan. Sementara di sisi Papua Nugini satu-satunya bangunan yang terlihat hanyalah patok perbatasan setinggi tubuh orang dewasa, itu pun yang membangun hasil patungan Indonesia dan Australia!

Saya duduk terhenyak. Entah sudah berapa banyak batas negara yang saya lalui, segalanya selalu penuh keriuhan dan semangat mendobrak garis-garis batas melalui perdagangan. Namun Sota begitu berbeda. Di sini kita hanya berbatasan dengan kekosongan.