Putra mempercepat langkahnya. Kami berdua berjalan menyusuri pematang pesisir Polewali. Sesekali sepatu saya terbenam ke lumpur berbencah yang bercampur dengan pasir pantai. Ada hutan mangrove di ujung sana, itulah alasannya mengapa kami terdampar di tempat ini. “Ini bukan tempat wisata,”
Month: August 2015
Labuang yang Terabaikan
Namanya Putra. Entah putra dari siapa. Kami baru berkenalan minggu lalu di dunia maya, siang ini kami berdua sudah melibas aspal Majene menuju ke Polewali. Belum separuh perjalanan, Putra menghentikan motornya di tepi bukit yang menjorok ke lautan, memperlihatkan pantai
Jejak Islam dari Salabose
Majene terhampar jelas di bawah sana. Ini adalah titik tertinggi Majene, Bukit Salabose. Salabose bukan sebatas arena penatapan. Bukit ini punya ikatan sejarah kental dengan masa kejayaan Kerajaan Banggae dan masuknya Islam ke tanah ini. Syekh Abdul Manan, nama beliau.
Kerkhoff di Lipat Kebun Perdu
Derak ranting yang patah dan kerisak dedaunan kering mengiringi langkah kami. Onie memandu saya menyusuri sebuah perkampungan ruwet di Majene. Tibalah kami di sebuah lapang perdu yang dihiasi lusinan bongkah-bongkah nisan uzur. Sebuah kherkoff, kompleks pekuburan Belanda, pada suatu lokasi
Senja di Atap Kota Majene
Saya tidak tahu, dari sekian banyak bukit di Majene manakah yang pemandangannya paling bagus. Untuk kebebasan memilih satu ini biarlah saya oper ke Onie. Dia pasti lebih tahu. Dibawanyalah saya ke puncak sebuah bukit tepat di belakang dermaga. Berjalan melintasi
Kembara Singkat di Majene
Majene pernah beken. Untuk sebuah alasan yang salah. Musibah yang menimpa Adam Air di perairan Sulawesi delapan tahun silam meroketkan nama kabupaten ini ke gelanggang internasional. Peristiwa yang kemudian didramatisir dalam film dokumenter Mayday Season 7 oleh sineas Kanada itu
Pekuburan Raja-Raja Banggae
Lelaki tua itu mendengus. Sembari terpincang-pincang, ia berusaha mendaki anak tangga pondok kayu kecilnya. Sebagai juru kunci makam, tugasnya satu, menyodorkan buku tamu untuk saya mengisinya. Pandangan saya menyapu barisan nama yang tampil di halaman buku tamu itu. Tidak seorang
Menyusuri Pantai Dato Majene
“Uwais dulu jalan kaki ke sini,” lagi-lagi Onie menyebut nama itu. Uwais Al-Qarni, teman lama saya yang juga seorang pengembara modal melarat memang begitu menggilai Sulawesi. Tidak aneh apabila seluruh petualang Sulawesi seakan-akan mengenal si begawan jalan-jalan itu. Terlebih di
Tuing-Tuing, Ikan Terbang Diasap
Namanya tuing-tuing. Andai bukan karena tiga orang berbeda menyebut namanya, saya mungkin susah untuk percaya. Dugaan akan gejala onomatopoeia pun buru-buru saya tepis dari benak. Lagipula sejak kapan ada ikan bersuara ganjil seperti itu? Memang apalah arti sebuah nama. Namun
Menyapa Pagi di Manakarra
Barangkali saya terlalu lama menetap di Jakarta hingga lupa artinya kesunyian pagi. Hari baru di Mamuju diawali tanpa kegaduhan. Begitu tenang. Saya berjalan seorang diri menyusuri Pantai Manakarra yang kalem sembari menikmati matahari yang masih bersinar malu-malu. Secara harafiah, nama