Aceh adalah saudara yang nyaris jadi tetangga. Apalagi kalau bukan gara-gara masalah kesejahteraan. Di tempat ini pemberontakan besar-besaran pernah pecah, menghiasi halaman depan surat kabar selama bertahun-tahun. Lambat laun kesan sengketa pun menjejali benak setiap orang. Menjadikan Aceh identik dengan
Month: December 2015
Melihat Jeroan PLTD Apung
Dek kapal yang berkarat serasa membara di tengah panasnya siang Banda Aceh. Setiap anak tangga yang saya tapaki mengeluarkan suara berderak-derak memantik rasa was-was. Orang mengenal kapal tanker raksasa ini dengan sebutan PLTD Apung, bekas generator listrik milik PLN Banda
Raksasa di Tengah Kota
Monster ini bersandar tiga mil dari tempat di mana dia seharusnya berada, dermaga Ulee Lheu. Gelombang Lautan Hindia menghempasnya pada suatu pagi dekade silam. Peristiwa lima belas menit itu mengubah peranannya dari sebuah generator listrik bertenaga diesel di ambang lautan
Sisa-Sisa Hantaman Tsunami
Hanya dalam sepuluh menit. Sebuah perjalanan enteng yang sejatinya tidak enteng baru saja kami lakoni di velodrom museum yang didesain oleh Ridwan Kamil ini. Gurat-gurat relief Tari Saman terpapar jelas di sepanjang dinding museum. Bangunan empat lantai seluas 2.500 meter
Sepuluh Menit Museum Tsunami
“Tolonglah, Bu!” sekali lagi saya berusaha membujuknya, “Ayolah, kami sudah datang dari jauh.” Museum Tsunami di Aceh baru saja tutup satu menit yang lalu. Fathur dan saya yang baru saja tiba dari Sabang terus terang terlambat untuk masuk. Namun kami
Nuansa Damai Rumah Allah
Pak Imran melantai beralas marbel yang dingin. Sekilas kerut-kerut di dahinya berkurang ketika dinding masjid meneduhi kami berdua dari terik matahari. “Baiturrahman,” ucapnya parau, “Berarti Rumah milik Yang Maha Pengasih.” Bukan sekedar rumah, Baiturrahman adalah rumah Tuhan. Rumah yang masih
Selamat Hari Natal 2015!
Gambar ini diambil oleh Lomar ketika kami berdua bertemu di jantung kota Ruteng, wilayah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Pada pagi hari yang dingin di kota kecil tersebut empat tahun silam saya berfoto di depan Gereja Katedral. Pada persinggahan itu
Melawat Pagi di Hutan Pinus
Sorot cahaya matahari terpapas rimbun pepohonan pinus yang berselang-seling hijau kuning. Desir angin hutan sayup-sayup membelai wajah, meninggalkan rasa gagu di wajah. Kami berempat tidur telentang di kaki batang-batang pinus menjulang, beralaskan tumpukan jerami yang lebih tebal daripada kasur. Tidak
Wilujeng Enjing, Pasir Moko!
Kami berkejaran dengan pagi hingga ke bibir tebing. Dari atas Bukit Moko secercah cahaya merah muda membias mewarnai setengah langit biru. Sekitar satu lusin anak muda lainnya ikut menyaksikan momen matahari terbit di akhir pekan itu. Lama saya mengenal Bukit
Bermalam di Caringin Tilu
Bandung terlihat anggun dari atas sini. Yugie memacu sepeda motor menyusuri jalanan sempit menanjak sementara saya duduk di belakang merapatkan jaket menghadang bekunya udara malam. Sudah sekitar setengah jam kami meninggalkan Saung Angklung Ujo dan bergerak jauh ke utara. Sekarang