Menilik Gua Pertahanan Jepang

Air menetes-netes dari stalagtit yang bergelantungan di langit-langit gua. Saya mencoba melangkah perlahan-lahan di anak tangga batu yang meliuk-liuk turun dari permukaan tanah ke dasar gua, berhati-hati agar tidak terpeleset. Semakin ke bawah suasana semakin terasa muram, lembab, dan singup. Apalagi pagi itu saya seorang diri menelusuri gua yang konon masih dianggap mistis oleh beberapa penduduk sekitar.

Di sinilah ribuan serdadu Jepang menjalani hari-harinya di Biak selama hampir dua tahun, sebelum akhirnya riwayat mereka disudahi oleh invasi Amerika Serikat. Tidak tersisa artefak apapun di dalam gua ini selain lubang-lubang besar yang menganga membiarkan cahaya matahari menyeruak masuk menembus selang-seling dedaunan hutan. Seluruh isinya telah diangkut dan dimuseumkan di permukaan tanah sana, termasuk botol-botol bir terakhir yang menemani keseharian para serdadu.

Beberapa kali saya terpeleset ketika mencoba menapaki jalanan gua yang basah oleh air tanah. Cahaya matahari tidak mampu menggapai tanah di sini dan satu-satunya kekhawatiran saya adalah apabila harus berpapasan dengan ular. Saya mencoba melongokkan kepala ke arah datangnya cahaya, permukaan tanah nampaknya masih sekitar lima puluh meter di atas kepala.

Pada salah satu sisi gua terdapat empat drum tergeletak begitu saja. Konon drum-drum ini dulunya berisi petrol yang dilemparkan tentara Amerika Serikat ke dalam gua kemudian disulut untuk membakar para tentara Jepang hidup-hidup. Tidak jelas bagaimana ceritanya lantaran para saksi hidup juga sudah tidak banyak yang tersisa di pulau ini.

Berbeda dengan gua pertahanan Jepang di Bandung atau Bukittinggi, pasukan Jepang di Biak memanfaatkan pertahanan alam. Gua ini bukanlah lorong yang sepenuhnya dibentuk sebagai basis pertahanan melainkan memang berupa gua alamiah yang dikonversi menjadi basis pertahanan di kedalaman lima puluh meter dari permukaan tanah.

Gua-gua inilah yang dulu sempat menyulitkan tentara Amerika Serikat menguasai Biak. Pertahanan tentara Jepang yang berada di bawah tanah tidak terdeteksi oleh armada udara dan tidak sanggup dijangkau oleh armada laut. Hal ini mengakibatkan Jepang mampu meluncurkan serbuan-serbuan gerilya mendadak kepada tentara Amerika Serikat yang melintas. Hingga di kemudian hari, gua-gua ini pulalah yang menjadi perangkap kematian bagi pasukan Jepang yang terkubur dalam lautan bara.