Mobil kaleng rombeng ini dihempaskan ke tepian jalan provinsi kemudian direm mendadak sehingga nyaris semua penumpangnya terlempar ke depan. Kakek tua yang duduk di kursi dengan dengan santainya bilang ke kami semua, “Saya minta Pak Sopir berhenti dulu soalnya di
Aceh
Laju Kencang di Lintas Pidie
“Sudah! Sudah!” seru perempuan muda itu kepada Pak Sopir dengan muka cemberut sembari menunjuk ke arah saya, “Biarkan dia duduk di sini. Di antara kami berdua saja!” Saya hanya melongo terdiam lantaran berusaha mencerna apa yang terjadi. Pak Sopir bersikukuh
Kuwah Itek Khas Bireuen
Orang sini menyebutnya sie itek, secara harafiah artinya kuah itik. Kuliner khas Bireuen ini punya kuah kental dengan rempah-rempah yang rancak memadu rasa pedas manis yang tiada duanya. Belum makan pun baunya sudah semerbak memenuhi udara restoran yang tidak terlampau
Lagi-Lagi Warung Kopi
Apabila saya berpikir sekembali dari Gayo tidak akan berjumpa kopi untuk sejenak, saya salah besar. Hanya sesaat setelah meninggalkan Takengon dan singgah di Bireuen, saya harus lagi-lagi bertemu dengan kopi. Sama seperti Dataran Tinggi Gayo, warga kawasan dataran rendah ini
Mengunjungi Kota Basis GAM
Damai Itu Indah. Pandangan saya belum bisa lepas dari rentangan spanduk-spanduk hijau di tepi jalan raya yang bertuliskan kata-kata yang sama. Entah berapa banyak spanduk serupa yang saya temukan di sepanjang jalan menuju Bireuen. Bak sebuah konvensi, “Damai Itu Indah”
Bireuen Pernah Jadi Ibukota
Dibandingkan para kompatriot penyandang status ibukota negara, Bireuen boleh dibilang yang paling tidak dikenal. Baik Jakarta, Yogyakarta, maupun Bukittinggi tentu lebih akrab terdengar telinga masyarakat Indonesia dibandingkan dengan kota kecil Aceh yang terletak di simpang Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Takengon
Bener Meriah Benar Meriah?
Minibus yang setengah catnya terkelupas itu berhenti di hadapan saya. Pak Sopir melongokkan kepala ke arah saya di tepi jalanan Gayo yang siang itu sepi seakan-akan ditinggal kabur separuh penduduknya, “Ke Bener Meriah?” Bener Meriah. Nama yang terkesan ceria itu
Berlabuh di Atap Rumah
Tanpa konteks tsunami, agaknya susah menjelaskan posisi kapal ini. Jelas bukan karya seni atau lelucon praktikal orang-orang Aceh. Kapal ini bersandar di atap sesudah dihantam gelombang Samudera Hindia dengan lambung berlabuh tepat di atas toilet rumah berlantai dua di Gampong
Kendara di Atas Vespa Tua
Ada dikata bahwa yang terpenting dalam hidup adalah pengharapan. Saya hanya berharap agar komponen sekuter ini tidak lepas terpisah-pisah ketika dikendarai melintasi jalanan Banda Aceh yang bergelombang bagai keripik Chitato. Dewi Fortuna masih berada di pihak kami. Saya dan Fathur
Melepas Sauh di Bumi Andalas
Baru satu kota dan fisik saya sudah hancur lebur. Kapal fery berjalan lambat-lambat membelah hampar Selat Benggala, meninggalkan Sabang menuju ke daratan luas Pulau Sumatra. Saya duduk bersandar di lorong sempit, hanya dipisahkan oleh buluh-buluh besi berkarat dengan laut lepas.