“Ada tangkapan apa saja, Pak?” tanya saya sesaat setelah menepikan sepeda motor di ambang jalan yang beririsan langsung dengan bibir pantai. Seorang nelayan menyodorkan seekor ikan cakalang sebesar paha orang dewasa di tanah beralas terpal biru.
Lantaran terselimuti oleh popularitas cengkeh, banyak orang yang melupakan bahwa Tolitoli juga mempunyai industri kelautan yang senantiasa berdenyut. Pak Syafri sudah lima belas tahun menjadi nelayan di sini, pekerjaannya adalah bolak-balik melaut ke Laut Sulawesi untuk berburu hasil laut, apabila perjalanan memakan waktu berhari-hari maka jangkauan jelajahnya bisa mencapai perbatasan Malaysia dan Filipina di ambang negara ini.
“Sekarang persaingan di laut lepas sudah agak berkurang jadi menangkap ikan bisa lebih banyak,” cetusnya sembari menarik seekor cakalang yang lebih besar lagi ke tengah terpal, “Dahulu banyak nelayan dari Mindanao yang juga ikut cari-cari ikan di sana, sekarang pemerintah sudah usir mereka.”
Saya tidak tahu seberapa signifikan hilangnya para kompetitor asing dari lepas pantai Tolitoli ini. Laut Sulawesi terlihat begitu luas di peta. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa persaingan antar nelayan tradisional cukup terasa di hamparan laut seluas itu, ibarat rombongan semut berebut mengunyah seekor gajah.
Posisi Tolitoli sejatinya begitu diberkati, lantaran di lepas pantai kota inilah pasase Selat Makassar dan Laut Sulawesi bertemu. Di sini pulalah arus dingin dan arus panas berbaur, menjadi lokasi favorit bagi ikan-ikan cakalang untuk hidup. Tidak mengherankan apabila pada tahun 2017 saja, potensi perikanan di perairan Tolitoli digadang-gadang mencapai lebih dari 64.000 ton, sebuah angka yang luar biasa besar untuk sebuah daerah dengan penduduk hanya dua ratus ribu jiwa.
Sayangnya dari potensi perikanan sebesar itu, hanya sekitar seribu ton yang sanggup ditransaksikan di Pelabuhan Tolitoli sepanjang tahun lalu. Sisanya memang ditangkap di perairan Tolitoli namun lantaran fasilitas dan kapasitas pelabuahn yang tidak memadai, ikan-ikan tersebut terpaksa harus ‘didaratkan’ melalui pelabuhan yang lain, misalnya Bitung dan Surabaya, untuk kemudian diekspor ke luar negeri.
Pak Syafri mengeluarkan sebatang kretek dari sakunya kemudian memungkas cerita, “Katanya sih tahun depan kita bakal ekspor ikan langsung. Semoga saja kesejahteraan kami di sini makin baik.”