Dua ribu rupiah saja yang diminta oleh bapak tua pemilik perahu sebagai upah menyeberangkan saya ke Kraton Gunung Tabur. Perahu kecil yang terasa tidak seimbang itu didayung perlahan-lahan membelah Sungai Segah secara diagonal. Tidak sampai dua menit saya sudah berada di sisi lain sungai.
Dua abad silam, generasi tiga belas Kesultanan Berau memecah kerajaan tersebut menjadi dua. Yang satu dinamai Sambaliung, yang lain dinamai Gunung Tabur. Kerajaan kecil ini bertahan selama hampir satu setengah abad, sejak penghujung abad delapan belas hingga awal kemerdekaan republik. Saat ini bekas kraton tersebut dirawat oleh pemerintah dan berganti label menjadi Museum Batiwakkal.
“Silakan masuk. Dari mana? Jauh-jauh kemari?” tanya seorang nenek yang duduk di teras depan museum istana itu. Saya pun melepas alas kaki dan mengutarakan maksud kedatangan saya ke tempat tersebut.
Nuansa kuning pada Kraton Gunung Tabur ini membuatnya terlihat seperti miniatur Kraton Qadriyah di Pontianak. Warna kuning dominan di hampir seluruh sudut kraton. Bahkan termasuk tenunan dan bunga yang mendekorasi interiornya pun berwarna kuning cerah.
Kedua putri sultan terakhir tidak menikah. Di sanalah garis keturunan sang penguasa berujung. Mereka kemudian menyerahkan hak keperawatan kerajaan kepada pemerintah provinsi. Sebagai gantinya, pihak pemerintah menanggung biaya hidup kedua putri sultan, termasuk membiayai keduanya untuk berhaji beberapa dekade silam.
Bicara perihal kuantitas, koleksi museum ini cukup berlimpah. Sekiranya terdapat tujuh ratus artefak di dalamnya, termasuk sepasang kanon kembar yang disiagakan di kedua sisi kraton. Pecahnya sejumlah bagian dari kanon-kanon yang ada di kraton ini menunjukkan bahwa senjata tersebut dulunya memang aktif digunakan untuk berperang.
Meskipun siang itu Berau begitu membara, kraton tua ini terasa nyaman. Perlahan-lahan saya melangkah mengitari setiap sudutnya, bertelanjang kaki menapaki lantainya yang dingin.