Senantiasa ada keterikatan antara mitos dengan realita. Ketika sebuah epik lahir di tengah-tengah masyarakat, besar kemungkinan ada historia melatarbelakangi kemunculannya. Tidak terkecuali dengan legenda Sunda ihwal Kawah Ratu di pucuk Gunung Tangkubanparahu.
Alkisah sepungkas kemarahan Sangkuriang, Dayang Sumbi menceburkan dirinya sendiri ke dalam kawah gunung yang baru saja lahir itu. Sungguh besar derita yang diterima sang ibu yang rela bunuh diri karena menolak dinikahi oleh anaknya sendiri hingga usai akhir hayatnya pun Dayang Sumbi masih kerap menangis merintih. Suara rintihannya sesekali terdengar dari dasar Kawah Ratu, menggema ke seantero lingkung gunung.
Suara rintihan yang menyayat hati tersebut sejatinya berasal dari uap belerang yang menyeruak masuk melalui celah-celah sempit bebatuan yang mengalasi Kawah Ratu. Luap-luap kawah vulkanik yang ada di dataran ini acapkali menghasilkan semburan-semburan yang terdengar seperti suara rintihan.
Pada sore hari menjelang matahari terbenam, di mana suhu udara susut hingga tujuh derajat Celsius, suara rintihan tersebut terdengar semakin nyaring. Terkadang bersahut-sahutan dengan angin gunung yang berhembus semakin kencang.
Sore itu saya berada di sisi lain Tangkubanparahu. Sunyi sepi di ujung sini, sementara kerumunan manusia terlihat mulai menipis di seberang kawah. Suara rintihan nyaring dari cekungan Kawah Ratu mendampingi terbenamnya matahari di sisi barat benar-benar membuat bergidik.
“Ayo kita pulang, nanti keburu kesorean,” ajak Chandra kepada saya dan Eka. Kami bertiga bergegas meninggalkan lereng kawah, berjalan kaki menuju sisi lain gunung ini untuk kembali ke Bandung. Sementara di belakang sana rintihan kembali terdengar.