Dumai, Kota Minyak Berdebu

“Kakak beruntung tidak ke sini ketika air pasang,” celetuk Meiby ketika mengantar saya dari Bandara Pinang Kampai yang lebih mirip gedung sekolah kejuruan daripada bandar udara, “Kalau air pasang, itu seluruh Kota Dumai akan terendam air, bahkan sampai ke pusat-pusat kotanya, karena saluran air di sini jelek sekali.”

Kesan pertama saya bersua dengan Kota Dumai nampaknya tidak digambarkan dengan baik dari pertemuan dengan Meiby. Boleh dibilang saya agak berharap ada tabur-tabur kultur Melayu yang saya temukan di tempat ini, namun sepanjang perjalanan yang saya saksikan hanyalah kota yang riuh dengan infrastruktur nyaris tidak muat dan debu-debu berterbangan di mana-mana.

Selamat datang di Kota Dumai.

Dumai lahir dan tumbuh dari minyak. Penemuan tambang-tambang minyak di lepas Selat Malaka membangkitkan Dumai dari sebuah desa kecil nan sepi menjadi kota perdagangan dan persinggahan para ekspatriat tambang minyak. Seketika sejak orang-orang Amerika menancapkan bor minyak di tanah ini, Dumai tumbuh dan berkembang secara liar, nyaris tidak terencana menjadi kota terbesar kedua di Provinsi Riau.

Mobil kembali saya pacu di jalanan panjang yang bergelombang, jalanan penuh lubang di mana-mana lantaran air laut yang naik ke daratan sebegitu seringnya mengikis aspal. Akibatnya, jalanan di Dumai terasa bagaikan permukaan bulan. Terlepas dari ekonominya yang terus berputar, saya merasa bahwa infrastruktur di Dumai membutuhkan perhatian yang jauh lebih besar daripada ini.

“Di Kota Dumai ini nyaris tidak ada atraksi wisata ataupun hiburan,” sambung Meiby lagi, alhasil malam itu kita memang cuma menonton pertandingan basket anak-anak sekolah di belakang klentheng, “Kalau waktu akhir pekan pun, masyarakat Dumai selalu pergi ke Malaka atau Pekanbaru untuk wisata. Tidak banyak yang berdiam di sini. Itulah kenapa kalau acara kawinan jarang dilakukan di akhir pekan.”

Dumai memang bukan menjadi tujuan perjalanan saya kali ini, tujuan saya adalah Bagansiapiapi. Namun harapan saya untuk menemukan serpih-serpih budaya Melayu di Dumai nampaknya harus ditunda. Dengan waktu yang tersedia hanya setengah hari dan keadaan kota yang serba berdebu seperti ini, penelusuran akan menjadi pekerjaan rumah yang berat.