Lapangan Fatahillah adalah altar Geger Pacinan. Kerusuhan Chinezenmoord tahun 1740 menewaskan puluhan ribu orang Tionghoa membanjiri dataran ini dengan darah. Orang-orang Tionghoa ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda, diikat di tanah lapang ini, kemudian sang gubernur memerintahkan eksekusi mati dari jendela Stadhuis de Batavia.
Peristiwa brutal itu benar-benar telah mencoreng reputasi pemerintah Hindia Belanda, hingga akhirnya sang gubernur, Adriaan Valckenier, dipenjarakan dan mati di ruang tahanan. Nasib orang Betawi dan Jawa tidak kalah menyedihkan. Di gedung Stadhuis de Batavia itulah mereka menjalani eksekusi. Genta didentangkan menyesaki Lapangan Fatahillah dan tubuh-tubuh para pribumi itu pun seketika tergantung tidak bernyawa di tiang-tiang eksekusi Belanda.
Seiring dengan sejarah Kota Jakarta, Lapngan Fatahillah memang selalu bergema. Namun bagi para pengunjung sekarang, barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa lapangan ini pernah menyimpan gurat-gurat memori kelam. Lahan pembunuhan. Lahan pembantaian.
Pada beberapa gedung yang mengitari lapangan ini juga pernah tersimpan penjara-penjara bawah tanah. Bilik-bilik sempit seluas kamar pas itu mengurung para tawanan dalam kerangkeng-kerangkeng sesak. Ketika air laut pasang, air merendam seantero penjara bawah tanah, menyisakan sedikit ruang kosong untuk bernapas dan meninggalkan kondisi fisik para tawanan dalam keadaan sangat menyedihkan. Bukan hanya rakyat jelata yang pernah menyicipi penjara ini. Konon Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien juga pernah merasakan sadisnya hukuman Belanda di tempat ini.
Sepak terjang pemerintah kolonial tidak memandang bulu. Adalah Peter Erberveld yang pernah dieksekusi di lapangan ini. Kedua tangan dan kedua kaki sang perusuh diikat oleh empat kuda pilihan, kemudian ditarik ke empat arah berlawanan. Tubuh orang keturunan Jerman ini remuk redam tercabik-cabik menjadi empat bagian.
Jasad Elberveld dimakamkan di pinggir Jalan Pangeran Jayakarta dan ditandai oleh sebuah tugu. Pada tugu tersebut, kepala Elberveld dipancang di atas sebilah tombak dan di bawahnya tertatah sebuah prasasti. Jepang menghancurkan tugu ini pada saat pendudukan mereka di Indonesia pada tahun 1942, namun prasasti berhasil diselamatkan. Kini kawasan tersebut dinamai Kampung Pecah Kulit lantaran di tempat itulah seluruh kulit tubuh sang tokoh perusuh terlepas dari tubuhnya.
Perjalanan pagi di Lapangan Fatahillah berpayung mendung. Gerimis membasuh sedikit demi sedikit semenjak subuh dan nampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dari jendela lantai dua Cafe Batavia saya melihat para pengunjung di bawah sana tertawa riang mengisi aktivitas Minggu pagi. Lembar-lembar nan kelam Lapangan Fatahillah nampaknya sudah menjadi kisah yang telah lalu.