Sepuluh November dituduh jadi teater para bajingan. Tidak banyak diungkap, namun kisah sebenarnya dari Sepuluh November jauh dari nuansa kepahlawanan yang dimitoskan. Para pemuda Surabaya turun ke jalan, bergaya bak koboi dengan pistol di pinggang, menembakkan senapan ke segala arah tanpa tujuan yang jelas, dan mabuk dalam kegilaan patriotik.
Setidaknya demikianlah cerita yang ditulis Abdullah Idrus dalam catatannya. Sebuah narasi hina dina yang disanggah mentah-mentah oleh Ben Anderson, menurutnya Surabaya adalah medan para pejuang. Entahlah. Bisa jadi narasi Idrus lebih akurat menggambarkan sepak terjang para pemuda di republik yang baru merdeka tiga bulan itu, tetapi romantisasi Anderson yang hingga kini lebih diterima. Sepuluh November adalah arena heroisme.
Idrus dan Anderson mengisahkan Surabaya dalam dua sudut pandang berbeda. Gambaran Idrus yang mencitrakan anak-anak muda Surabaya ibarat gerombolan koboi yang menjarah, merusak, dan memperkosa dengan brutal terus terang tidak banyak diungkit-ungkit. Layaknya kisah kelam republik, fakta-fakta tersebut seakan berusaha dikubur dalam-dalam.
Sementara romantisasi Anderson bertahan hingga kini. Dikisahkan bagaimana anak-anak muda Surabaya dengan gagah berani menghadang pasukan Inggris yang berusaha merebut kembali nusantara, termasuk tewasnya Jenderal Aubertin Mallaby setelah mobilnya dilempar granat.
Kisah pertempuran Sepuluh November diabadikan sebagai Hari Pahlawan dengan Bung Tomo sebagai tokoh sentralnya. Makin menarik. Sebab keterlibatan Bung Tomo di dalam pertempuran Sepuluh November pun masih dipertanyakan. Ada kesaksian, bahwa pada waktu itu Bung Tomo berpidato dari Malang, bukan berada di palagan hujan bom sekutu di Surabaya. Jadi bagaimana mungkin tokoh yang tidak ikut perang malah jadi pahlawan? Entahlah.
Di tengah segala simpang siur ketidakjelasan kronologi Sepuluh November, kota terbesar kedua di Indonesia ini tetap didapuk sebagai Kota Pahlawan dengan segala panji-panji heroiknya. Pagi itu saya ditemani oleh Fitri mengunjungi Museum Tugu Pahlawan yang berisi segala romantisasi akan peristiwa Sepuluh November.
Terlepas dari apapun yang terjadi pada Sepuluh November, peristiwa tersebut menjadi salah satu tonggak sejarah yang mencegah kembalinya Indonesia ke tangan kolonialis. Republik ini berdiri dan kemudian melanjutkan diplomasi hingga akhirnya Belanda turut mengakui kemerdekaannya empat tahun kemudian. Soal Sepuluh November? Saya tidak mau berdebat karena toh waktu itu saya belum lahir. Terserah apa kata Idrus dan Anderson.