Di dada kanan seragam terpasang bendera merah putih. Penampilan mereka dari Pulau Sebatik memang sedikit berbeda dari penampilan anak-anak sekolah dasar di wilayah-wilayah lainnya. Ini adalah pulau terluar Indonesia, yang mana nasionalisme menjadi satu perkara sensitif yang harus digaungkan secara
Kalimantan Utara
Kampung Nelayan di Mantikas
Sepeda motor tua itu melintas diiringi rentetan suara derak-derak mirip mesin pintal rusak yang beresonansi sampai ke ubun-ubun. Setiap langkah saya menghasilkan derit di hampar lantai kayu yang memanjang sekurangnya satu kilometer dari dermaga Mantikas. Dengan tingkat keberisikan seperti ini
Menuju ke Pulau Perbatasan
Saya salah pelabuhan. Ketika masuk ke kompleks Pelabuhan Tunon Taka, saya kesulitan mencari kapal menuju ke Sebatik. Hampir semua kapal melayani rute dari Kabupaten Nunukan menuju ke Kota Tawau di negeri jiran. Namun saya belum menyerah, lagipula hari masih cukup
Melepas Malam di Nunukan
Listrik pun padam. Sudah biasa. Entah sudah berapa ratus kali dari perjalanan saya ke setiap sudut-sudut Indonesia pun berhadapan dengan padamnya listrik. Meskipun sekarang sudah agak jarang, teruntuk daerah-daerah tertentu hal seperti ini masih menjadi sebuah rutinitas dan tidak terkecuali
Sua Islamic Center Nunukan
Tukang ojek yang berniat membawa saya pulang dari Dermaga Sei Jepun itu menepikan sepeda motornya lewat pintu gerbang Islamic Center Nunukan. Dua orang petugas yang duduk di pos penjagaan berdiri melongokkan kepalanya dari jendela pos. Saya melambaikan tangan ke arah
Pembangunan di Tapal Batas
Lengan-lengan tua Pak Morris mengayunkan sebilah cangkul ke tanah berlumpur. Saya mengerlingkan wajah sembari mengangkat telapak tangan untuk menghalau cipratan lumpur yang menyembur ke mana-mana. Sembari mengapitkan sigaret ke bibirnya, Pak Morris mengulangi sekali lagi dan kali ini tanah setengah
Pintu Gerbang Kota Nunukan
Jadwal penerbangan hari ini cuma tiga. Dua dibatalkan. Artinya tinggal satu penerbangan yang masih beroperasi, atau setidaknya belum dibatalkan hingga saat ini, penerbangan saya. Demikianlah rutinitas sehari-hari yang ada di Bandara Nunukan. Penerbangan yang melayani rute Tarakan dan Long Bawan
Indonesia Kecil di Nunukan
“Angkotnya cuma satu di sini, Mas!” sahut Pak Karso disambung dengan tawa terkekeh, “Bukan kota besar seperti di Jogja. Jadi angkot ya cukup satu dan muter-muter situ.” Pak Karso berasal dari Wonosari. Sudah lima belas tahun bapak ini tinggal di
Nunukan, Geliat Kota Transit
Nunukan hidup layaknya kabupaten-kabupaten lain di Indonesia. Tanpa melihat peta, agak susah merasakan bahwa kabupaten muda ini merupakan kabupaten terluar yang terletak di perbatasan republik dengan negeri jiran. Usianya belum dua puluh tahun. Nunukan lahir dari pemekaran Bulungan yang ukurannya
Merapat di Liem Hie Djung
“Lamijung! Lamijung!” teriakan sais hanya terdengar lamat-lamat bangku paling belakang kapal motor yang berisik ini. Namun ketika saya melihat para penumpang lain nampak mulai berkemas dan beranjak dari bangku masing-masing, saya pun mengikuti. Lamijung yang dimaksud adalah Liem Hie Djung,