Tanahnya agak becek sisa hujan semalam. Kedua kaki saya berusaha untuk menapaki jalanan yang ketika dipijak terkadang merosot ke bawah lantaran remah-remah lumpur ada di mana-mana. Tanah perbukitan ini terus menanjak hingga akhirnya kami tiba di pelataran luas di puncak bukit. Anif menemani saya berjalan kaki menyusuri tinggian perbukitan yang melatari Kota Bima, sementara jauh di seberang sana matahari terlihat mengambang rendah di atas permukaan laut yang bergelora.
Dana Traha secara harafiah bermakna tempat istirahat. Inilah kompleks peristirahatan dari keluarga Kesultanan Bima selama berabad-abad, sebuah petilasan yang menjadi hunian terakhir para sultan bersama para keluarganya. Jauh dari kesan angker, kompleks kuburan ini begitu teduh dengan tanah lapang yang terbuka dan latar laut yang cantik.
Adalah Sultan Abdul Kahir yang merupakan pembawa agama Islam masuk ke tanah ini. Beliau juga merupakan Sultan Bima I yang wafat pada tahun 1640 dan disemayamkan di tanah ini. Berdasarkan histori, perjalanan hidup Sang Sultan tidaklah mulus. Beliau sempat terlibat sengketa dengan pamannya sendiri yang menyebabkan Sang Sultan harus pergi meninggalkan istana. Pada usia tuanya, Sultan Abdul Kahir menikah dengan putri Makassar bernama Karaeng Kasuruang, dari pernikahan tersebut lahirlah Sultan Abdul Kahir Sirajuddin.
Sama seperti ayahnya, Sultan Abdul Kahir Sirajuddin juga dimakamkan di tanah ini. Namun yang paling menarik perhatian saya adalah salah satu kuburan yang tertutup oleh tembok tebal melengkung bagaikan sebuah terowongan pendek. Ini adalah makam Perdana Menteri Abdul Samad Ompu Lamani yang meninggal pada tahun 1701. Tidak diketahui mengapa makam perdana menteri ini ditutup sedemikian rupa.
Makam besar paling ujung adalah yang paling baru. Sebuah makam yang ditutup oleh sangkar kayu berukir yang catnya terlihat sangat terawat. Ini adalah makam Sultan Abdul Kahir II yang wafat pada tahun 2001, alias empat abad setelah generasi pertama Kesultanan Bima. Menariknya sosok paling tenar dari Kesultanan Bima yaitu Sultan Muhammad Salahuddin justru tidak dikuburkan di tempat ini. Setelah menyatakan Bima bergabung dengan Republik Indonesia, beliau meninggal dan dimakamkan di Jakarta.
Anif menemani saya berjalan berputar-putar kompleks pemakaman. Satu demi satu makam saya singgahi sembari sesekali mengeluarkan ponsel untuk mencari informasi dari dunia maya terkait dengan sosok yang dimakamkan. Sementara langit pun perlahan mulai gelap.