Menepi dari Riuh Rantepao

Di sebelah kanan kiri jalan hanya terlihat tongkonan demi tongkonan. Sesekali sawah. Kemudian tongkonan dan tongkonan lagi, sampai entah sudah berapa jauh kami dari Rantepao.

“Ke mana kita ini?” tanya Rudy kepada saya dengan was-was.

Saya juga tidak tahu. Pokoknya bermodalkan peta lusuh kami mencoba menyusuri sudut-sudut pedesaan Tana Toraja, jauh dari riuh rendah Rantepao. Karena saya percaya autentisitas Toraja tersimpan di desa-desanya, jauh dari keramaian dan modernitas kota.

Sepeda motor yang tangki bensinnya masih sisa setengah itu saya geber melewati sudut-sudut Toraja. Dari Lolai, membelah Sungai Sadang, kemudian Pangala, Pamibak, Sumpia, dan lalu entah mana lagi. Saya tidak ingat. Hingga akhirnya saya menyetop sepeda motor tua itu di tepi jalanan desa nan sepi.

Rudy turun dan duduk di tepi sawah yang sudah hampir menguning. Malam nanti kami memang harus kembali ke Makassar, namun untuk sore ini biarlah kami menikmati kesunyian. Tana Toraja yang semakin ke sini semakin turistik tak urung membuat perjalanan ini terasa begitu penting. Pokoknya kami harus ke Toraja sebelum tempat itu menjadi terlalu ramai, kurang lebih demikian.

“Kita coba cari jalan tembus untuk sampai ke Batutumonga,” ajak Rudy sembari memindai garis putus-putus di peta lusuh yang dipegangnya, “Ada sih jalan…”

“Tapi kita tidak tahu kondisinya seperti apa,” saya memotong pembicaraan.

Ah, tetapi siapa peduli. Kami akan coba memangkas jalan dari sini. Kalaupun jalan terlalu buruk untuk dapat dilintasi sepeda motor uzur ini maka kami bisa saja putar balik. Tidak jadi masalah. Saya pun kembali berdiri dan mengajak Rudy untuk melanjutkan perjalanan. Melintasi sesuatu yang penuh ketidakpastian.