Entah bagaimana ceritanya Untsa dan saya tersasar ke sini. Pada mulanya sih kami hanya akan mengunjungi museum-museum saja tetapi malah masuk ke sebuah pameran lukisan di Kota Tua. Bukan soal itu, tetapi harga tiketnya yang lumayan mahal seharusnya membuat kami mundur, bukannya malah terus melenggang santai.
Kota Tua bukan hanya sekedar museum dan bangunan tua. Ini adalah ketel lelehan, tempat berbaurnya anak-anak muda, pedagang kaki lima, seniman jalanan, hingga para pengemis profesional. Di tangga popularitasnya yang terus terkerek naik, Kota Tua pun kini jadi singgahan bagi para seniman kelas atas yang tidak segan-segan menyewa gedung untuk mengadakan pameran partikelir selama satu dua minggu.
Jujur saja, saya tidak paham seni. Apabila disuruh membedakan antara coret-moret anak TK dengan lukisan abstrak, besar kemungkinan saya akan kesulitan menebak. Tetapi nggak apalah saya mengunjungi pameran ini, karena toh barangkali ada sedikit atau dua dikit yang pelajaran yang bisa saya peroleh darinya.
“Barong dan Rangda, banyak sekali,” ucap saya kepada Untsa yang sibuk sendiri dengan kameranya, “Banyak sekali lukisan-lukisan di sini yang terinspirasi dari kebudayaan Bali nampaknya.”
Perlu sekitar setengah jam untuk saya untuk menavigasi pameran ini, satu demi satu gambar. Mungkin lantaran pemahaman saya yang serba cethek akibatnya saya tidak berlama-lama di hadapan masing-masing karya. Buat apa lama-lama karena semakin lama dipandang malah semakin membuat pusing kepala, kan?
Di ruang utama pameran ini ditaruh sebuah sofa panjang yang di depannya terpampang lukisan-lukisan ukuran ekstra besar, terpancang pada dinding lebarnya. Seusai mengitari pameran selazimnya orang akan duduk-duduk di sini sembari memesan makanan kecil atau minuman dari sebuah kantin yang ada di sebelahnya. Tetapi pada hari itu tidak ada orang.
“Sejujurnya, melihat-lihat lukisan bukan merupakan hiburan buat saya, karena malah tambah pusing,” kelakar saya kepada Untsa yang hanya ditanggapi dengan tawa renyah. Yah, mau bagaimana lagi.