Deru mesinnya beresonansi sampai ke tulang ekor. Rasanya bagaikan berkendara di atas mesin pemotong rumput. Namun tentu saya tanpa prerogasi untuk memilih, lantaran mobil bak terbuka ini berbaik hati menawarkan tumpangan bagi kami berempat tanpa imbalan sepeser pun.
Melintasi aspal yang setengah jadi di sisi senyap Dataran Tinggi Dieng berarti menyodorkan diri untuk diguncang-guncang selama perjalanan. Beruntung ini bukanlah sebuah tur yang panjang, melainkan hanya sebuah kendara singkat menuju ke Kawah Sileri.
Tadinya kami berempat hanya berjalan sekenanya dari Penginapan Bu Jono menuju ke sudut lain Dieng yang sunyi senyap. Namun ternyata di jalan kami berpapasan dengan bapak sopir mobil yang berbaik hati untuk membawa kami berkendara lebih jauh.
“Nah, kalian turun saja di sini,” kata si sopir sembari menghentikan mobilnya di paparan sebuah perkebunan kubis, “Kawah Sileri tinggal turun ke sana. Kalau jalan kaki sebenarnya tidak jauh.”
Setelah mengucapkan terima kasih jadilah kami berempat turun. Selamat datang di Kawah Sileri!