“Mari kemari, kakak harus bertemu nenek,” ajak gadis kecil itu dengan senyum cerah yang saya jawab lewat sebuah anggukan ringan. Tentu saja. Mengapa tidak? Barangkali nenek punya cerita menarik untuk dibagikan kepada saya. Saya berjalan mengikutinya menyusuri petak-petak sawah dan menapaki pematang-pematang yang diapit hamparan padi menguning.
Gadis itu kemudian berhenti, diam di kaki tebing tidak jauh dari lokasi awal kami berjalan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada orang lain.
Tidak ada nenek.
Kemudian si gadis kecil menengadah dan mengarahkan telunjuknya ke atas tebing, “Itu nenek.”
Jari telunjuk kecilnya mengarah kepada sebuah rongga di ketinggian tebing kapur. Di dalamnya terdapat sosok berwarna kecoklatan yang nampak telah terkelupas, berpakaian lengkap dengan daster merah muda bersandar begitu saja di dindingnya. Mata saya kurang bisa menangkapnya dengan jelas. Mungkin itu patung si nenek atau si nenek beneran. Entah sudah berapa tahun berada di atas sana.
Berbicara tentang Tana Toraja adalah berbicara tentang kematian. Tana Toraja adalah satu dari sedikit budaya di dunia yang merayakan kematian dengan euforia. Di setiap sudut-sudutnya, kematian dirayakan sebagai sesuatu yang memukau, mistis namun menggairahkan.
Adalah janggal ketika berusaha menyikapi kematian dengan cara kita di Tana Toraja. Di tanah ini, kematian harus dilihat dari kacamata adat Toraja, sebagai pucuk dari siklus kehidupan seseorang. Itulah mengapa di Tana Toraja kematian tidak diperingati dengan duka cita, kematian dirayakan di dalam kemeriahan melebihi upacara kelahiran ataupun pernikahan.
Agama Kristen masuk ke Tana Toraja berdamai dengan aliran Aluk Tudolo. Meskipun masyarakat Toraja kini mayoritas sudah menganut Kristianitas, kebudayaan adat mereka tidak tertinggalkan, termasuk ihwal glorifikasi terhadap kematian.
Saya berjalan melipir kaki bukit, sesekali saya menengadah ke atas menyimak lusinan figur yang menyesaki rongga-rongga segi empat di seluaran dinding tebing. Dari jenazah, boneka, hingga tulang belulang, semua berbaur menjadi dalam satu dinding, diletakkan begitu saja pada ruang terbuka selayaknya sebuah etalase mall.
Tana Toraja terselip apik di ceruk perbukitan, dataran tinggi yang membatasi Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Barat. Di balik perbukitan hijau nan elok inilah tersimpan banyak cerita tentang kematian yang menjadi pemicu perjalanan saya ke tanah ini. Sesaat saya menengadah, mengucap terima kasih kepada nenek, dan menuntun gadis kecil tadi kembali ke desa.