Kerikil sebesar kepalan tangan tersebar merata di badan jalan. Laluan sempit yang membawa kami ke Telaga Tilanga memang tidak beraspal. Sepeda motor yang saya kemudikan berulang kali terperosok ke dalam lubang jalanan, hingga akhirnya saya menyuruh Rudy untuk turun dan berjalan kaki daripada menjadi beban perjalanan.
Perjalanan menuju Telaga Tilanga tidaklah mudah. Bukan hanya lantaran jalannya yang berbatu-batu, namun juga karena lokasi ini kami temukan dari sebuah peta tua, yang mana keabsahannya adalah sebuah tanda tanya besar. Satu hal yang pasti, telaga ini punya kisah menarik.
Lokasi Telaga Tilanga berada di antara Makale dan Rantepao, yang artinya tidak ada posisi awal yang lebih efektif untuk menjangkau tempat ini. Mau tidak mau, kita harus bergantung kepada kendaraan bermotor. Dari jalan utama, kami masih harus masuk beberapa kilometer ke dalam melintasi jalanan sempit yang berbatu.
Tilanga menjadi menarik lantaran dihuni oleh massapi, moa atau sejenis spesies belut berkuping, yang hidup di celah-celah bebatuan sekitar telaga. Tidak diketahui jelas bagaimana memancing massapi keluar, namun ada cerita bahwa beberapa anak kecil mampu memancing belut tersebut keluar dengan telur rebus. Memang. Terlihat beberapa sisa cangkang telur berserakan di sana.
“Ada massapi yang belang-belang,” kata seorang ibu yang mendampingi kami berdua, “Namanya massapi bonga, tapi jarang ada yang pernah lihat.”
Entah mengapa masyarakat Toraja seakan terobsesi dengan yang belang-belang, sebab kerbau belang-belang pun harganya selangit di daerah ini. Konon belang-belang itu adalah perlambang keberuntungan. Entahlah.
Yang jelas Telaga Tilanga mempunyai nuansa yang rimbun. Suasananya begitu tenang, hanya terdengar kecipak air dari seorang anak yang sedang berenang di sana. Sementara itu beberapa orang perempuan nampak bekerja tidak jauh dari tepiannya.
Saya melangkah mendekat ke sisi telaga dan mencelupkan sebelah kaki. Dingin. Belum lama kami di sini, Rudy mengisyaratkan agar saya segera beranjak ke tempat selanjutnya, Kalimbuang.