Mobil meluncur kencang di jalanan yang diaspal sekenanya. Kami sudah semalaman berada di perjalanan dari kota Jambi dan pagi ini kami disambut oleh matahari Sungai Penuh. Dan hingga matahari sudah miring empat puluh lima derajat di timur, perjalanan belum berkesudahan.
Memasuki Sungai Penuh jalanan berubah mulus, namun hanya sebentar, kemudian rusak seperti sebelum-sebelumnya. Mobil yang sudah mampat sesak dengan penumpang itu melintasi koridor sempit di antara dua lapang sawah yang posisinya lebih rendah. Sementara pucuk-pucuk batang padi nampak berkilauan ketika embun yang melapisinya memantulkan cahaya matahari.
Di depan kami seharusnya Gunung Kerinci. Namun saya tidak melihat apa-apa selain bukit-bukit dan tanjakan yang tidak rata. Barangkali atap Sumatera itu ada di balik perbukitan. Atau mungkin pula ia masih jauh ada di depan sana. Entahlah.
Mobil kemudian berhenti mendadak di sebuah kios bensin. Bukan untuk isi bensin nampaknya. Si sopir melompat turun kemudian membuka bagasi dan memungut sebuah kardus cokelat sebesar troli supermarket. Dengan tenang dia membawanya ke sebuah rumah yang terletak di seberang kios bensin itu. Nampaknya perjalanan kami menuju Kerinci harus tertunda lantaran ada banyak paket yang harus dihantarkan di Sungai Penuh.
Entah tiga atau empat kali kami harus berhenti di tepi jalan, si sopir turun, memungut kardus, menyerahkannya kepada si empunya, dan begitu seterusnya. Barulah sekitar pukul delapan pagi mobil kembali digeber kencang meninggalkan Sungai Penuh.
Semakin lama liuk-liukan semakin menjadi-jadi. Mobil membelah jalanan desa yang kini sudah beraspal mulus dengan kecepatan tinggi. Sawah dan pekarangan rumah di kanan kiri jalan mulai tergantikan oleh hampar perkebunan teh yang apik. Inilah Kayu Aro nan legendaris itu.