“Boleh saya foto kan, Pak?” tanya saya yang hanya dijawab cengiran saja.
Bapak tua itu hanyalah satu dari sekian lusin pengayuh becak yang bolak-balik dari muka Istana Kesultanan Siak ke pelabuhan di pinggir Sungai Siak. Berbeda dengan kompatriotnya di Jawa yang punya kabin mblendhuk, becak di Riau punya kabin penumpang di sisi pengemudi. Semua dengan kerangka terbuka, ala kadarnya tanpa bemper.
Siang itu saya berbecak dari pelabuhan ke istana. Sepuluh ribu rupiah saja untuk kendara selama kurang dari lima menit. Meskipun jarak relatif dekat, para pengayuh becak di kota kecil ini mampu meraup banyak penumpang pada akhir pekan seperti ini.
Mendung sejak tadi menggantung rendah di langit Siak. Namun awan hitam yang berarak-arak tidak kunjung mengguyurkan hujan. Jadilah saya menikmati berkendara di atas becak tanpa atap membelah aspal Siak yang mulus.
Pagi-pagi saya berlepas dari Pelabuhan Sungai Duku di Pekanbaru. Perjalanan dua jam via kapal motor akhirnya membawa saya ke kota kecil yang kaya akan historia ini. Tujuan saya sederhana saja, Kraton Siak Sri Indrapura dan Jembatan Siak. Keduanya dalam satu hari.