Bau-Bau adalah negeri yang hidup di dalam benteng. Tiga kilometer kelilingnya, dengan julangan dinding batu setinggi empat meter dan fortifikasi setebal dua meter. Di seputarannya tercantum dua belas pintu gerbang dan enam belas bastion pertahanan. Impresif.
Perjalanan ke Bau-Bau tentu saja tidak mungkin melewatkan perjalanan ke Benteng Wolio. Benteng yang berdinding batu hitam ini mengawal jantung negeri Buton selama hampir enam abad. Entah dari mana batu-batu gunung itu didapatkan hingga kemudian disusun, ditumpuk sedemikian rupa, dan disatukan dengan perekat rumput laut.
Saya berjalan perlahan meniti penampang bentengnya yang hanya selebar satu depa. Di sisi kanan saya adalah Kelurahan Melai yang terletak di dalam benteng, sedangkan di sisi kiri saya adalah hutan runduk menghadap langsung ke laut lepas. Di setiap beberapa langkah teronggok sebatang dua batang kanon tua berkarat, mengarah tegak lurus ke luar benteng.
Batu wolio ada di seluaran benteng. Menurut legenda, di dekat batu inilah didapati seorang putri cantik jelita dari Tiongkok yang bernama Wa Kaa Kaa. Sang putri kemudian diangkat sebagai pemimpin Buton setelah dilantik di atas altar popaua. Yang tersisa kini hanyalah ceruk kecil tempat sang putri meletakkan telapak kaki sambil melantunkan sumpah jabatan.
Entah benar atau tidak legenda tersebut, namun yang jelas Benteng Wolio telah berdiri melindungi Buton dari invasi semenjak enam abad silam. Apalagi kesultanan ini harus bertahan hidup di tengah himpitan imperium-imperium raksasa seperti Bone dan Ternate.
Rudy dan saya sebenarnya dikejar waktu. Berdua kami terpaksa mengubah jadwal untuk mengunjungi benteng yang bernama asli Gafurul Wardudu itu lantaran ada perubahan jadwal penerbangan pulang ke Makassar. Sayang sekali. Padahal kalau boleh diizinkan, kami akan menghabiskan waktu sepanjang hari penuh di kota cantik nan permai ini.