Salah satu kesenangan saya melawat akhir pekan tanpa kelana adalah menyinggahi etalase seni modern di sudut-sudut kota Jakarta. Siapa sangka bahwa kota yang tenar dengan kesemrawutan dan kelimpahan populasi ini punya gurat-gurat manis di setiap sudutnya. Jakarta memang riuh. Semrawut.
Jawa
Melawat Pagi di Hutan Pinus
Sorot cahaya matahari terpapas rimbun pepohonan pinus yang berselang-seling hijau kuning. Desir angin hutan sayup-sayup membelai wajah, meninggalkan rasa gagu di wajah. Kami berempat tidur telentang di kaki batang-batang pinus menjulang, beralaskan tumpukan jerami yang lebih tebal daripada kasur. Tidak
Wilujeng Enjing, Pasir Moko!
Kami berkejaran dengan pagi hingga ke bibir tebing. Dari atas Bukit Moko secercah cahaya merah muda membias mewarnai setengah langit biru. Sekitar satu lusin anak muda lainnya ikut menyaksikan momen matahari terbit di akhir pekan itu. Lama saya mengenal Bukit
Bermalam di Caringin Tilu
Bandung terlihat anggun dari atas sini. Yugie memacu sepeda motor menyusuri jalanan sempit menanjak sementara saya duduk di belakang merapatkan jaket menghadang bekunya udara malam. Sudah sekitar setengah jam kami meninggalkan Saung Angklung Ujo dan bergerak jauh ke utara. Sekarang
Kaliurang Ada Jadah Bakar
Gara-gara tidak menduga Museum Ullen Sentalu tutup, Vhindy dan saya terpaksa mencari hiburan lain di Kaliurang. Hiburan di sini berarti makanan. Jadilah kami berdua bermotor mengunjungi salah satu kedai paling kondang se-Kaliurang. Sebenarnya kami baru saja makan nasi bandeng, bukit
Kopi Joss yang Mendunia
Kopi joss adalah identitas Yogyakarta. Tidak semata Garuda Indonesia yang melibatkan kopi ini sebagai salah satu item promosi Indonesia, namun beberapa barista Indonesia juga sudah membawa prosedur penyajian kopi ini ke gelanggang internasional sebagai the charcoal coffee. Yang menarik, kopi
Menangkar Penyu Batukaras
Penyu itu berbeda dengan kura-kura. Menyaksikan bocah-bocah metropolitan Jakarta memperdebatkan apa bedanya penyu dan kura-kura sepanjang perjalanan benar-benar ibarat komedi situasional. Siang ini kami, dua puluh orang, menyambangi penangkaran penyu di Batu Hiu. Ratusan tukik, anakan penyu, ditampung di dalam
Impromptu ke Green Canyon
“Pokoknya gue nggak mau ngerti, elu harus ikut! Kita semua ke Green Canyon!” pesan singkat to the point khas Lysa itu membuat saya berangkat dadakan ke Pangandaran. Dua puluh orang. Satu bus. Sebagai seorang penyuka solo traveling, tentu pergi rame-rame
Bekas Stadhuis de Batavia
Pantomim, artis trotoar, dan pemusik jalanan bertubuh tambun. Sejenak ingatan saya berputar kembali ke Damrak. Hari itu akhir musim dingin saya berjalan kaki seorang diri di bawah hembusan udara beku Amsterdam, tersesat di liku lorong-lorongnya, dan terbenam dalam riuh rendah
Gemerlap Malam Kota Tua
Di tempat inilah Jakarta lumer dalam satu wadah. Inilah melting pot, ketel lelehan bagi megapolitan yang heterogenistik. Mengunjunginya ibarat menyambangi sebuah miniatur Jakarta. Apabila anda adalah satu-satunya warga Jakarta yang belum pernah ke Kota Tua, saya sarankan untuk melewatkan malam