“Sudah! Sudah!” seru perempuan muda itu kepada Pak Sopir dengan muka cemberut sembari menunjuk ke arah saya, “Biarkan dia duduk di sini. Di antara kami berdua saja!” Saya hanya melongo terdiam lantaran berusaha mencerna apa yang terjadi. Pak Sopir bersikukuh
Sumatera
Santap Pertama di Tanjungbalai
Kapal motor yang hanya terisi setengah itu bersandar di dinding dermaga. Saya lantas melompat turun dan berjalan secepat mungkin keluar dari pelabuhan. Saya tidak mengenal sama sekali daerah ini dan seperti pengalaman yang sudah-sudah, semakin cepat keluar dari pelabuhan maka
Sunyi Sepi di Curup Embun
Kira-kira hanya seratusan anak tangga. Namun lengan pendek arloji yang sudah menunjukkan pukul enam sore membuat saya sedikit bergegas menuruninya. Boleh dibilang saya terlampau terlambat mengunjungi air terjun yang teduh di lereng Gunung Dempo ini. Sudah barang tentu suasananya sunyi
Atraksi Baru, Tangga 2001
Entah siapa orang jenius yang punya ide membangun tangga sepanjang ini di tengah-tengah kebun teh. Namun yang jelas, idenya laku. Bukan lantaran tangga ini menyimpan fungsionalitas yang bermanfaat bagi perkebunan teh ataupun pemetiknya, namun karena anak-anak muda sekarang berkerumun di
Gagal Masuk ke Pabrik Teh
“Wah, tidak bisa,” celetuk bapak itu mencoba meyakinkan kami berdua, “Kalau mau lihat-lihat ke dalam harus daftar dulu laporan kunjungan beberapa minggu sebelumnya, pabrik ini tidak terbuka untuk umum.” Khairi dan saya sore itu memang sengaja singgah di kantin karyawan
Belajar dari Kebun Kopi
“Orang biasa berfoto di kebun teh bukan kebun kopi,” gurau Hasan yang saya sambut dengan tawa keras. Meskipun perjalanan ini penuh dengan senda gurau namun kami bertiga tidak dapat menyembunyikan rasa was-was bahwa kami harus berjalan kaki menyusuri tanah berlumpur
Rimba Candi yang Terlupa
Namanya Rimba Candi. Tetapi jangan engkau bayangkan kompleks ini seperti Candi Prambanan atau Candi Muara Takus. Rimba Candi benar-benar berada di tepi rimba, tepatnya di areal kebun kopi. Dan candinya? Tidak terlihat kecuali kita masuk ke dalam-dalam dan yang nampak
Bandit-Bandit Tanah Besemah
“Barangsiapa mendaki Bukit Barisan dari Bengkulu, kemudian menjejakkan kakinya di tanah Kesultanan Palembang yang begitu luas dan melangkahkan kakinya dari utara Ampat Lawang menuju dataran Lintang nan indah, sehingga tibalah ia di kaki Gunung Dempo, maka berarti ia sudah tiba
Kampung Adat Empat Lawang
Mobil kami lagi-lagi berhenti sesaat. Sopir turun dan mengangkut sejumlah paket ke dalam bagasi, kemudian kembali meluncur tanpa melempar sepatah kata. Dari gelagatnya, saya merasa bahwa bapak tua ini tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Agak janggal rasanya apabila mengingat
Jalur Rawan di Empat Lawang
Satu kali itu kejadian. Dua kali itu kebetulan. Tiga kali itu berarti memang benar adanya. Di sepanjang jalan Pak Sopir terus bercerita tentang bagaimana seramnya lintasan Empat Lawang pada masa yang belum terlalu lampau. Beberapa tahun yang lalu jalur ini