Petilasan Pangeran Cakrabuana

“Silakan masuk ke dalam sana, Mas!” cetusnya, “Tetapi mbaknya tidak boleh ikut, hanya laki-laki yang boleh masuk ke Patilasan Pangeran Cakra Buana jadi sebaiknya mbak tunggu di sini saja.”

Mira hanya nyengir kecil ketika saya memutuskan untuk masuk seorang diri ke kompleks patilasan ini. Tidak terdapat banyak objek yang dapat disaksikan di tempat ini selain tiga buah pondok yang dahulu digunakan oleh keluarga Kesultanan Cirebon untuk bertapa. Saya naik ke salah satu tangga yang berujung pada sebuah pohon besar, dari atas sana saya melongok ke arah sebuah sumur yang terletak di tepi kompleks. Airnya terlihat masih tinggi.

Ihwal Pangeran Cakrabuana sendiri, beliau adalah keturunan langsung dari keluarga Kerajaan Pajajaran. Beliau merupakan putera pertama dari Maharaja Prabu Siliwangi dari istri pertama yang bernama Subanglarang. Pangeran Cakrabuana mempunyai dua orang saudara dari keluarga Pajajaran ini, yang dikenal dengan Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Kepindahan Pangeran Cakrabuana ke agama Islam membuatnya kehilangan hak untuk menjadi putera mahkota Kerajaan Pajajaran meskipun beliau merupakan anak sulung. Pada masa tersebut, Kerajaan Pajajaran masih menganut agama Sunda Wiwitan sebagai agama negara. Akibatnya, posisi sang pangeran pun digantikan oleh Prabu Surawisesa yang merupakan anak Prabu Siliwangi dari istri keduanya.

Di Kebon Pesisir inilah Sang Pangeran yang bergelar Pangeran Walangsungsang membangun sebuah petilasan bernama Dalem Agung Pakungwati yang tersusun atas kuta kosod, barisan batu bata merah tanpa jeda. Dalem Agung Pakungwati inilah yang digadang-gadang sebagai awal mula dari Kesultanan Cirebon yang di kemudian hari tampuk kekuasaannya dipegang oleh Sunan Gunung Jati.

Kompleks Dalem Agung Pakungwati ini kini berada tepat di sebelah Kraton Kasepuhan. Kompleks istana yang dikurung oleh dinding berbatu bata merah setinggi kepala manusia dewasa ini merupakan cikal bakal dari keseluruhan Kesultanan Cirebon. Pangeran Cakrabuana mangkat pada tahun 1529, lima puluh tahun setelah menyerahkan kekuasaan kepada Sunan Gunung Jati, dan dimakamkan di Gunung Sembung.

Saya keluar dari kompleks ini dan menyusuri lorong-lorong sempitnya yang mengingatkan saya kepada film Mahkota Majapahit pada periode tahun 1990-an. Mira menunggui di bawah pohon sembari bercakap-cakap dengan bapak yang menunggui sebuah sumur di luar sana. Nuansa teduh petilasan ini begitu terasa meskipun di luar sana matahari bersinar dengan garangnya.