Jalan Terjal ke Candradimuka

Rantainya putus. Sepeda motor itu terseok. Mungkin si tukang ojek mulai menyesali tawaran lima belas ribu rupiah yang membuatnya harus jatuh bangun melintasi jalanan rusak ini. Entahlah.

Insiden putusnya rantai ini berarti perpisahan untuk saya dan si tukang ojek. Baginya kini adalah putar otak bagaimana caranya memboyong sepeda motor yang setengah rontok itu untuk turun kembali ke kampung, mencari bengkel motor untuk mengganti aksesorisnya. Sementara bagi saya, berarti setengah perjalanan ke atas harus ditempuh dengan tenaga kaki sendiri.

Entah salah siapa apabila kondisi jalan menuju ke tempat ini rusak berbatu-batu. Sudah bosan rasanya menyalahkan pemerintah. Walaupun secara nalar memang membangun jalan ke lokasi seperti ini kurang punya nilai ekonomis, secara hitung finansial terang saja kawah ini bukan buah yang tergantung rendah di dahan pohon untuk bisa langsung kita petik.

Tetapi apabila kita pikirkan lebih mendalam filosofinya, sebenarnya pantas dengan nama yang disandang oleh kawah tadi, yaitu Candradimuka. Tempat yang menurut legenda digadang-gadang sebagai petilasan Gatotkaca menjalani diklat memang tidak seharusnya mudah dijangkau kan?

Kawah Candradimuka terletak di landas cekungan. Dari tubir ngarai, kami pun harus berjalan menuruni anak-anak tangga yang licin serta berpasir. Sementara di bawah sana seruak asap belerang menyesaki seluruh cekungan, membenamkan penampakan kawah yang dikisah menjadi tempat Gatotkaca direbus hidup-hidup itu.

Salah satu keunikan dari Kawah Candradimuka adalah suara gemuruh yang sesekali waktu terdengar dari kubangan kawahnya. Selebihnya, siang itu hanya tertampak asap pekat mengepul tanpa henti dari dalam tanah.