Dihadang Kabut Kintamani

Boleh jadi saya memang salah memilih masa. Matahari masih malu-malu ketika saya menggeber sepeda motor dari Ubud melintasi persawahan menuju Singaraja. Namun perjalanan membelah Pulau Bali secara tegak lurus itu bersambut dengan kabut tebal di jantung Pulau Bali.

Memasuki dataran Kintamani, halimun pekat mengambang rendah di atas aspal memaksa saya melambatkan kendaraan lantas menepi. Suka tidak suka, mau tidak mau, boleh tidak boleh, saya harus menunda perjalanan ini sesaat hingga kabut buram yang menghalangi pandangan pungkas terangkat dari awang-awang.

Tidak sampai satu jam jalanan muram berangsur terang. Tersibak di hadapan saya pemandangan menawan Gunung Batur, dengan lereng-lereng yang bergurat-gurat kecoklatan. Remang kusam yang sedari tadi memayungi sekonyong-konyong amblas entah ke mana. Menyisakan seulasan pemandangan manis di hadap wajah.

Terdiam saya duduk di salah satu paviliun. Sudah urung kalbu ini untuk buru-buru melanjutkan perjalanan. Biarlah saya menikmati beberapa menit di tempat ini sebelum bergegas mengaspal kembali. Kicau burung-burung gunung meramaikan ambien, sementara saya tenggelam di dalam buaian alam yang baru bangun dari tidurnya.

Kintamani memang cantik. Bertahun-tahun saya menyesap kopinya, namun baru kali ini saya ada kesempatan menikmati alamnya, di mana hutan, gunung, dan danau berdampingan.

“Di seberang danau ada Trunyan,” oceh seorang bapak tua yang duduk di sebelah saya, “Bisa ke sana naik kapal. Biasanya orang sewa kapal ke sana. Coba saja main ke sana.”

Saat ini mungkin tidak. Tapi suatu saat nanti pasti.