Kota Lama, Kota Semarang

Kota Semarang sendiri sejatinya adalah kota lama. Bukan barang aneh apabila beberapa tahun silam Riri Riza menggunakan Kota Semarang sebagai lokasi syuting film Gie yang menggambarkan Kota Jakarta pada medio 1960-an. Adapun Kota Semarang yang orisinal sejatinya berada di sebuah kompleks yang akrab dengan sebutan Kota Lama.

Pada masa kolonialis, Kota Semarang dengan Pelabuhan Tanjung Emasnya merupakan dermaga terbesar Hindia Belanda. Di sinilah jantung dari segala perputaran logistik nusantara, tempat barang-barang hasil bumi dan rempah-rempah diedarkan dari sawah ladang di Indonesia menuju ke dapur-dapur di Eropa. Namun seiring dengan perkembangan zaman, Kota Semarang tumbuh lebih lambat dibandingkan kompatriotnya dan meredup pengaruhnya ditelan zaman.

Jangan salah. Kota Semarang masih kota besar tentu saja. Namun kini Jakarta dan Surabaya dengan Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak menjadi poros perdagangan yang lebih penting dibandingkan dengan Kota Semarang. Secara politik, pengaruh Kota Semarang sebagai penguasa regional pun belum juga tergoyahkan meskipun sempat ada wacana untuk memindahkan ibukota Provinsi Jawa Tengah ke Kota Solo. Namun apabila menilik jauh ke sejarah kota ini, maka boleh dikata bahwa Semarang sudah turun kelas.

Demikianlah hiruk pikuk Tanjung Emas masa itu ditopang oleh Outstadt, yang kini disebut Kota Lama.

Outstadt merupakan kawasan seluas tiga puluh hektar yang dibelah oleh sebuah jalan besar bernama Heeren Straat. Pada kawasan ini terdapat lebih dari lima puluh gedung retro peninggalan londo yang dulunya pernah menjadi kantor pusat berbagai organisasi. Salah satunya adalah PT. Djakarta Lloyd yang bergerak di bidang transportasi laut dan pergudangan.

Waktu nampaknya tidak terlampau ramah terhadap Kota Lama. Kawasan bersejarah di Semarang ini dihantui oleh banjir rob kambuhan yang disebabkan oleh naiknya permukaan air laut. Pada musim hujan yang sudah-sudah, kawasan ini senantiasa tergenang. Dikhawatirkan ketahanan kawasan ini menghadapi banjir semakin hari semakin rapuh.

Pagi itu saya berjalan kaki seorang diri mengunjungi gedung-gedung tuanya. Pengendara kendaraan bermotor lalu lalang seakan-akan sudah terlampau sibuk untuk memperhatikan eloknya arsitektur uzur kawasan ini.

“Sekarang sudah macet parah di daerah ini,” terang seorang tukang becak yang mengaku sudah mangkal di sana semenjak tahun 1980-an sembari menyulut rokoknya, “Mungkin sudah saatnya Semarang diperluas agar pusat kegiatan tidak terkonsentrasi di pusat kota ini. Mungkin bisa lah kita berbagi dengan kota-kota sebelah seperti Salatiga atau Kudus.”