Seorang mahasiswa pernah melompat dari atas menara ini. Bunuh diri. Kejadian tersebut dituding sebagai titik balik menurunnya jumlah pengunjung di menara ini. Padahal sebelum peristiwa tersebut, menara jangkung yang digadang-gadang sebagai miniatur Menara Eiffel ini mampu menjadi magnet bagi wisatawan domestik.
Lima belas tahun silam, Kabupaten Gorontalo membangun menara ini sebagai landmark dari sebuah kota yang merupakan salah satu pemukiman tertua di Sulawesi ini. Menara Keagungan namanya. Usaha tersebut boleh dibilang cukup berhasil karena pengunjung sedikit banyak sudah mulai berdatangan untuk berfoto atau menikmati pemandangan Limboto dari atas menara ini. Untuk mencapai puncaknya, pengunjung harus menaiki ratusan anak tangga lantaran elevator hanya sanggup mencapai lantai tiga.
Namun kemarin pada saat saya melintas di sela-sela kakinya yang menaungi jalan raya utama Gorontalo, terkesan bahwa menara ini sudah tidak lagi menarik minat orang. Dindingnya terlihat kusam dengan coret-moret di sana-sini, serta pada bagian bawahnya lebih banyak didiami oleh para tukang becak yang mangkal sekaligus berteduh dari panasnya udara Gorontalo.
Saya berhenti tidak seberapa jauh dari menara tersebut, memarkirkan sepeda motor di tepi jalan raya kemudian membidikkan kamera ke Menara Keagungan yang mencolok di depan latar langit biru berawan. Sementara di kanan-kiri saya kendaraan ramai berlalu-lalang seakan tidak lagi acuh dengan keberadaan sang menara.