Pagi Buta di Padangpanjang

Pintu mobil dibanting. Kemudian mobil melaju kencang di kegelapan malam buta, menitipkan debu knalpot di wajah Wahyu dan saya yang masih mencoba untuk memahami keadaan. Sekarang pukul tiga pagi dan kami diturunkan di Kota Padangpanjang, entah di bagian mananya. Yang jelas di tengah kesunyian malam seperti ini insting pejalan saya adalah mengamankan diri dengan mencari warung makan.

Kami meninggalkan Kota Sungai Penuh semalam silam, dan sebelum matahari terbit mobil kaleng rombeng yang kami tumpangi sudah menyasar di episentrum kota ini. Sejujurnya kami tidak punya ide tentang apa yang harus dilakukan di tempat yang sejatinya masih sangat asing ini.

“Kami mau naik kereta dari sini,” ucap saya kepada bapak penjaga warung kopi yang disambut dengan picingan mata seakan-akan saya adalah makhluk alien yang baru saja mendarat di Padangpanjang.

“Tidak ada kereta api,” jawabnya lirih menampakkan kerut-kerut kening di bawah nyala lampu yang redup, “Sudah tidak ada lagi kereta api yang beroperasi dari stasiun ini. Sudah lama.”

Jawaban yang terus terang membuat saya agak kecewa, yang artinya rencana pun harus segera disusun untuk menentukan ke mana arah dan tujuan kami setelah ini. Dari hasil penelusuran singkat di peta, dipilihlah Batusangkar sebagai tujuan berikutnya. Artinya pagi ini kami sudah harus meninggalkan tataran Padangpanjang untuk mencapai Batusangkar.

“Kalian bisa jalan ke terminal,” sambung bapak itu lagi sembari menuangkan kopi susu di gelas saya yang baru saja tandas, “Dari sana ada banyak yang menuju ke Batusangkar. Sekarang minum saja dulu kopinya sambil menunggu matahari terbit.”

Jalanan Padangpanjang pagi itu terasa begitu sepi, gelap pekat dengan beberapa lampu jalan yang menyala tak bertuan. Saya menghirup dalam-dalam aroma kopi yang semerbak di dalam ruangan warung berdinding kayu itu, sementara cahaya lampu yang kuning redup mencetak bayang-bayang muram di empat sudutnya.