Biak di Teater Perang Pasifik

“Satu-satunya yang saya ketahui dari Biak adalah ini sebuah pulau satu derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa, salah satu di kelompok Kepulauan Schouten di sisi utara Teluk Geelvink sebelah barat Nugini,” tulis Kolonel Harold Riegelman di dalam pengakuannya pada bulan Juni 1944. Barangkali sang kolonel tidak pernah menduga bahwa Pulau Biak akan menjadi saka guru dari kampanye Amerika Serikat mendominasi teater Perang Pasifik.

Tiga minggu sudah armada Amerika Serikat menggempur pertahanan Jepang di tanah ini. Para serdadu bertanya-tanya mengapa pulau kecil dengan hutan, rawa-rawa, dan tebing yang tidak bersahabat ini harus menjadi medan laga yang berdarah-darah. Namun Jenderal Douglas MacArthur memiliki pandangan lain, penguasaan atas Pulau Biak menempatkan armada Amerika Serikat sejauh 1.500 kilometer dari Filipina, sebuah jarak yang memungkinkan penggempuran udara.

Singkat cerita, mau tidak mau, Biak harus direbut dari tangan Jepang.

Pertempuran berdarah di Biak sedikit banyak adalah akibat kekeliruan intelijen. Informasi yang beredar memperkirakan bahwa terdapat 4.000 tentara Jepang di pulau ini, yang mana Amerika Serikat mengirimkan 12.000 tentaranya untuk melakukan gempuran dari sisi timur dan merangsek ke barat. Namun perhitungan tersebut keliru. Terdapat setidaknya 11.400 tentara Jepang yang bermarkas di Pulau Biak.

Dua kekuatan yang secara jumlah nyaris seimbang itulah yang membuat Perang Pasifik di Pulau Biak menjadi horor Perang Dunia II. Bom-bom dijatuhkan oleh armada udara Amerika Serikat di gua-gua pertahanan Jepang dibalas dengan serangan artileri dan senapan mesin dari sebalik hutan-hutan lebat. Pertempuran pun tidak terelakkan.

Pertempuran juga diwarnai oleh duel tank lawan tank. Tank Type-95 Ha-Go berhadapan langsung dengan tank M4 Sherman yang berakhir dengan keunggulan di kubu Amerika Serikat.

Sepanjang ambang Pulau Biak adalah panggung teater Perang Pasifik. Sisa-sisa pertempuran tujuh puluh tahun silam masih berceceran nyaris di seantero pesisir selatan Pulau Biak, mulai dari sisa mortar, selongsong peluru, hingga rongsokan kendaraan tempur. Sementara itu gua-gua Jepang masih menyimpan ribuan tengkorak prajurit yang menjadi korban perang.

Saya menghela napas panjang. Berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang diteduhi pepohonan rimbun dengan dua lubang sebesar lapangan basket menganga di tanah membawa imajinasi saya kembali ke masa-masa Perang Dunia II. Sayup-sayup derap langkah para prajurit Jepang terdengar di kejauhan.