Hikayat berkisah bahwa tanah ini dulu adalah hampar perairan dangkal. Entah lantaran aktivitas tektonis atau pendangkalan berlebih, terangkatlah tanah ini menjadi sebuah lembah di cekungan Donggala. Topalu’e, tanah yang terangkat, demikian dalam Bahasa Kaili.
Palu bukan martil. Jauh dari kesan perkasa, ibukota Sulawesi Tengah ini lebih lama berada di bawah bayang-bayang Donggala. Barulah manakala Donggala dibombardir habis-habisan selama Perang Dunia II, pusat kegiatan masyarakat berpindah ke Palu. Meski menjadi episenter kegiatan masyarakat, tidak serta merta kota ini memegang tongkat komando Sulawesi Tengah. Pada tahun 1950, pusat Karesidenan Sulawesi Tengah berada di Poso.
Palu baru didapuk sebagai jantung wilayah ini tujuh tahun kemudian. Meskipun relatif terlambat mekar dibandingkan kota-kota lain di timur Indonesia, kota ini tumbuh pesat. Dalam kurun waktu setengah abad, Palu menjadi kota terbesar nomor tiga di timur Indonesia, setelah Makassar dan Manado.
Tentu saja palu bukan martil, atau hammer, melainkan dipapas dari istilah topalu’e yang artinya tanah yang terangkat. Zaman dahulu kala tanah ini berada pada dasar lautan. Namun pergeseran lempeng tektonik (palu koro) menyebabkan tanah di dasar lautan ini terangkat dan membentuk lembah Palu yang kini menjadi kota yang ramai.
Meskipun kiprahnya jarang terdengar di luar Sulawesi, kota ini sebenarnya mempunyai lanskap perekonomian yang berdenyut kencang. Salah satunya dengan ditetapkannya Kawasan Ekonomi Khusus di wilayah ini. Masyarakatnya pun multi-etnis yang terdiri dari suku Kaili, Kulawi, Pamona, Banggai, hingga Tionghoa.
Malam itu menjelang malam tahun baru, hujan deras bercampur geledek menyambar-nyambar seantero kota. Saya yang tiba di kota ini terlalu larut harus berlarian di sepanjang emperan toko, berteduh dari hujan. Perjumpaan pertama dengan Palu memang tidak menyenangkan. Namun kita lihat saja besok, apakah Palu punya kejutan untuk saya.