Kisah tentang pendaratan Soekarno di Danau Limboto bagaikan kisah yang terus diulang-ulang di kampung ini. Begitu bangganya mereka kala menceritakan ulang bagaimana Sang Putra Fajar mendaratkan di atas pesawat amfibi Catalina pada tahun 1951 di permukaan danau yang tenang ini. Hampir tujuh puluh tahun berlalu semenjak momen pendaratan tersebut, kunjungan Soekarno senantiasa mewarnai perbincangan ringan di kampung sekitar Limboto.
“Kalau musim hujan air naik sampai sini,” terang Angga menunjuk ke tepian danau, “Tetapi saat kemarau bisa jalan sampai ke tengah sana karena semua jadi daratan becek. Danau ini sudah dangkal sekarang, jadi naik turunnya air bergantung pada musim.”
Saya mengucapkan salam kepada bapak penjaga kemudian melepas sepatu di depan sebuah rumah kecil berdinding putih yang tersudut di tepi Danau Limboto. Si bapak penjaga menggerutu tidak jelas dan memasang ekspresi tidak ramah, entah kenapa, barangkali bapak itu tidak terbiasa dengan kedatangan tamu apalagi pagi-pagi seperti ini ketika dia seharusnya bersih-bersih.
Museum ini dahulu adalah sebuah dermaga kecil, yang mana digunakan oleh Soekarno sebagai titik pendaratan pesawat amfibi yang membawa pahlawan proklamasi tersebut ke tanah Gorontalo. Dermaga renta lapuk tersebut seluruhnya sudah mulai dibongkar, pondasi kayunya disingkirkan dan digantikan dengan beton yang lebih kokoh. Sementara bangunan utama yang tadinya menjadi hunian petugas dermaga kini berubah menjadi sebuah museum yang menyimpan catatan kehidupan Soekarno.
Di sudut-sudut museum ini terdapat banyak foto peninggalan Soekarno, termasuk salah satunya ketika beliau berkunjung ke tanah ini. Di satu sudut ruangan tersimpan beberapa buku tua yang mengulas tentang pandangan politik Soekarno beserta beberapa barang peninggalan beliau di tempat ini, termasuk satu set televisi uzur.
Dari jendela museum saya menatap jauh keluar. Danau Limboto yang pernah permai kini kondisinya terancam, pendangkalan parah terjadi di setiap sisinya, sebagian besar permukaannya ditumbuhi oleh tetumbuhan air yang membuatnya terlihat seperti rawa-rawa raksasa. Saya hanya berharap di masa mendatang Danau Limboto tidak berubah menjadi kenangan lawas layaknya museum ini. Itu saja.