Tau-tau di Tebing Lemo

Baru kali pertama saya melihat kuburan bak etalase toko serba ada. Setidaknya seratus patung kayu berpakaian lengkap disusunkan berjajar di kolom-kolom tebing. Setiap balkon menampung hingga selusin patung, yang masing-masing menghadap ke arah perbukitan lepas, menghasilkan suasana surreal ketika saya berjalan di kaki tebingnya.

Inilah Lemo, salah satu pekuburan batu di Tana Toraja.

Mereka menyebut patung-patung tersebut dengan istilah tau-tau. Tau di dalam linguistik Toraja bermakna orang, tau-tau berarti banyak orang atau boleh juga bermakna orang-orangan. Pada awal kemunculannya di abad ke-19, tau-tau hanya dikhususkan untuk masyarakat dari keluarga berada. Hal ini dimaksukan untuk menunjukkan status dari orang yang meninggal dunia.

Tau-tau dipercaya sebagai representatif dari sosok yang telah meninggal, penjaga makam, dan pelindung bagi sanak saudaranya yang masih hidup. Masuknya Agama Kristen ke Tana Toraja sempat menghentikan praktek pembuatan tau-tau lantaran ada perdebatan di kalangan tetua adat dan pendeta, apakah orang Tana Toraja yang sudah menganut Agama Kristen masih perlu membuat tau-tau.

Dikarenakan keyakinan masyarakat Toraja bahwa sosok yang telah meninggal akan membawa harta miliknya ke alam kubur, tidak jarang barang-barang berharga diletakkan bersama tau-tau. Hal ini sempat memicu para pencuri masuk dan menjarah kubur-kubur, termasuk di Lemo. Barang-barang berharga dijarah para pencuri, sedangkan banyak tau-tau yang dijual kepada para kolektor ilegal di luar negeri.

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Toraja mulai memagari tau-tau dengan teralis besi agar tidak menjadi korban penjarahan. Menarik. Sebab pada mulanya tau-tau dimaksudkan untuk melindungi sanak saudara yang masih hidup di dunia, kini tau-tau justru harus dilindungi dari mereka yang masih hidup.

“Dulu awalnya tau-tau itu sederhana,” ucap seorang bapak tua yang ada di toko souvenir, “Tetapi semakin ke sini mereka semakin banyak variasi. Keluarga mulai mereka pakaian sesuai dengan kesukaan mereka ketika masih hidup dan lengkap dengan berbagai aksesoris.”

Saya berdiri tepat di bawah kaki-kaki tebing, menengadah lurus ke atas. Rudy yang semenjak tadi mengikuti saya tidak mau berkata-kata. Nampaknya dia masih sibuk mencari lokasi terbaik untuk berfoto. Untuk saya, hal ini mengajarkan satu kenyataan besar, bagaimana masyarakat Toraja memandang kematian. Kematian di tanah ini bukan hanya sebatas sesuatu yang diperingati, lebih dari itu, mereka diglorikasi.