Tiga perahu kecil disandarkan begitu saja di pantainya. Dikandaskan lantaran tidak ada dermaga. Lagipula siapa yang mau repot-repot membangun dermaga di pulau tidak berpenghuni seperti ini.
Anak-anak muda Jakarta yang berkaos kuning-kuning ini berlompatan keluar dari kapal. Berebut untuk berfoto di hadapan papan penyambutan Taman Nasional Gunung Krakatau. Apalagi kalau bukan untuk diunggah ke media sosial, yang sebenarnya bukan esensi dari perjalanan. Sementara saya sudah sepenuhnya tidak sabar untuk segera melihat Krakatau yang legendaris itu dengan mata dan kepala sendiri dari dekat.
Perairan di seputaran Gunung Anak Krakatau begitu tenang. Tidak nampak gelombang liar yang sedari tadi menemani perjalanan kami dari Pulau Sebesi. Pada pagi yang teduh ini yang terlihat hanyalah lautan tenang dengan pantai berpasir hitam yang ditumbuhi oleh pepohonan pinus dan tetumbuhan paku.
Pulau ini tidak dirimbuni oleh pepohonan. Selepas dari tepian pantainya, kita sudah langsung melintasi garis batas vegetasi, yang artinya tidak ada lagi kehidupan setelahnya. Dari batas vegetasi hingga puncak Gunung Krakatau, hanya terhampar pasir hitam yang melesak apabila diinjak. Istilahnya maju dua langkah mundur selangkah.
Kiki mengumpulkan kami di bawah, kemudian meminta kami berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil untuk mendaki ke atas. Mudah sekali memang lantaran puncaknya tidak terlampau tinggi dan lanskap begitu terbuka. Yang menggelikan adalah dalam waktu sekejap punggung Gunung Anak Krakatau dipenuhi oleh bintik-bintik kaos kuning.
“Sampai atas berhenti, jangan naik ke puncaknya,” celetuk Kiki seraya mengulang-ulang peringatannya itu, “Sebab oleh Balai Taman Nasional sudah tidak diperbolehkan muncak. Kalau dilanggar nanti saya yang kena urusan.”
Memang. Saya tidak ada rencana untuk menginjakkan kaki di puncaknya.