Ketika istana raja-raja nusantara lazimnya memamerkan jimat dan kelewang, Istana Sultan Siak Sri Inderapura justru menonjolkan teknologi entertainment set dari dua abad yang lampau. Tepat di ruang tengah istana tersebut terdapat sebuah ruang makan bergaya ningrat. Namun ornamental yang paling menarik di sana justru sebuah gramofon, music set, dan proyektor!
Pada penghujung abad ke-19, musik gubahan Ludwig von Beethoven dan Richard Strauss sudah mengalun di Riau. Melalui lawatannya ke Jerman pada tahun 1896, Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil membawa buah tangan berupa seperangkat gramofon dan setumpuk piringan musik klasik. Gramofon bernama Komet ini hanya ada dua unit di dunia, satu di Jerman dan satu tepat di hadapan saya sekarang.
Selain Komet, juga terdapat banyak gramofon dengan berbagai wujud di dalam istana ini. Salah satunya adalah gramofon klasik yang mempunyai corong suara mirip bunga kecubung.
“Bisa saja dibayangkan betapa luasnya pergaulan Sultan Siak pada masa tersebut,” ungkap Pak Zainuddin terdengar bangga, “Ketika pada zaman tersebut orang nusantara masih asing dengan musik klasik. Musik-musik Bach dan Beethoven sudah dikoleksi oleh Sultan Siak.”
Benar. Jangankan mendengarkan musiknya, mendengar nama para komposer kelas dunia itu pun mungkin rakyat nusantara pada masa tersebut tidak pernah. Mata saya menatap erat-erat Komet, si gramofon tua legendaris, siapa sangka benda sebesar kulkas ini kini tergantikan oleh pemutar musik modern yang ada di saku celana saya.