Metro, Kota Kedua Lampung

“Kalau Metro enak, masih banyak pohonnya,” celetuk Pak Alex yang menyopiri mobil kami dari Sukadana menuju ke Metro, “Setidaknya di sini belum seruwet Bandar Lampung. Tapi kalau dibiarkan sih sebentar lagi juga bakal kaya gitu.”

Nama Metro sendiri sebenarnya cukup menarik, lantaran terkesan begitu modern. Adapun Kota Metro bukanlah sebuah kota yang dibentuk baru-baru ini, kota ini sudah ada semenjak delapan puluh tahun lewat. Bahkan nama Metro sudah melekat di sini semenjak zaman kolonial Belanda dan Jepang masuk ke Lampung.

Usut punya usut, nama Metro ternyata merupakan adaptasi dari kata Bahasa Jawa yaitu mitro, alias teman. Kota Metro pada mulanya bernama Mitro lantaran dianggap sebagai tempat berkumpulnya para sahabat untuk menjalin pertemanan. Memang semenjak zaman kolonial Belanda, Kota Metro menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah terutama dari Jawa.

Tidak mengherankan apabila Suku Jawa menjadi penghuni mayoritas di kota yang terletak di jantung Bandar Lampung tersebut. Kota kecil yang prominensinya akan segera menanjak lantaran berada di lintasan utama Trans Sumatera yang menghubungkan Bandar Lampung dengan Palembang ini tentu dalam waktu dekat akan tumbuh berkali-kali lipat.

“Nanti kita berhenti dulu di sini ya, Pak,” celetuk saya kepada Pak Alex yang langsung diiyakan, “Kami mau cari oleh-oleh dulu di pinggir sana, mungkin kalau ada pisang khas Lampung boleh lah untuk dibawa pulang.”

Dan begitulah, tanpa harus menunggu ke Bandar Lampung, kami singgah di salah satu pusat oleh-oleh di Metro. Tidak banyak barang yang bisa kami borong siang itu, namun yang jelas suatu saat nanti saya akan kembali ke Metro untuk menjadikan kota ini sebagai landas pacu penjelajahan lebih jauh ke utara, kawasan Mesuji dan sekitarnya.