Eksotis. Satu kata yang sudah terlampau sering dilontarkan para pewarta wisata sehingga lambat laun kehilangan makna. Teruntuk masyarakat Lhok Iboih, hampar biru luas tiada batas ini bukanlah semata eksotisme, melainkan adalah sang kehidupan itu sendiri. Laut dan segala isinya sudah menjadi tumpuan kehidupan mereka sejak lama. Kini laut yang sama telah menjadi penopang penghidupan mereka dalam wujud yang sama sekali berlainan, pariwisata.
“Iboih kini hidup dari pariwisata,” saya mendengarkan penjelasan Amir, “Setiap tahun kita menampung banyak sekali turis Jerman dan Prancis.”
Tidak dipungkiri. Dengan hampar airnya yang jernih ini, tidak rumit bagi Iboih untuk ntuk mendapatkan wisatawan. Apalagi jaraknya hanya selemparan sempak dari Banda Aceh, yang mampu diakses dengan mudah dari Jakarta dan Kuala Lumpur.
Siang itu saya berjalan kaki menyusuri pantainya yang panas. Sementara Fathur asyik bermain ayunan dari ban bekas yang digantung di salah satu dahan pohon layaknya anak cacat mental. Ah, andai saja saya mempunyai waktu yang berlebih, barangkali saya sudah mencoba untuk snorkelling di lepas pantai Iboih.