Singgah di Siak Sri Indrapura bagaikan meneropong masa silam Semenanjung Malaka, kemudian tersedot ke dalamnya. Ada gurat-gurat sejarah yang ditatah di kota kecil ini, yang mengingatkan kita bahwa dulunya di tempat ini pernah ada sentra sebuah Kesultanan Melayu nan masif. Sebuah kesultanan yang hidup dari jalur perdagangan Semenanjung Malaka, Siak Sri Indrapura.
Butuh seperjalanan becak setarif dua puluh ribu perak untuk berlepas dari dermaga Siak menuju ke Istana Siak Sri Indrapura. Istana Kesultanan yang berdinding putih marbel ini sepintas terlihat mencolok dengan desain bangunan ala kros Melayu dan Persia, seakan-akan dicerabut dari buku legenda Mesopotamia kemudian dijatuhkan di pinggir Sungai Siak.
Kesultanan Siak Sri Indrapura pada awal riwayatnya merupakan sempalan Kerajaan Pagaruyung di Ranah Minang, yang kemudian tumbuh menjadi kekuatan besar Selat Malaka. Kesultanan Melayu ini selama beberapa abad menancapkan pengaruhnya di tanah Riau dengan komando dari papar Sungai Siak, jalur lalu lintas perdagangan yang sangat ramai dua tiga abad silam.
Siak Sri Indrapura adalah nama yang diadopsi dari Bahasa Sansekerta, makna harafiahnya adalah Siak Kota Raja yang Bercahaya. Kesultanan ini mencapai masa keemasannya pada abad ke-19 ketika wilayah kekuasaan Raja Melayu ini mencapai wilayah Serdang di Sumatera Utara, Bintan di Kepulauan Riau, hingga Johor di Malaysia. Bahkan pengaruh kekuasaan Siak Sri Indrapura pada masa itu mencapai Jambi, Palembang, dan Terengganu.
“Kerajaan Siak selalu menjaga hubungan dengan Belanda dan Inggris,” terang bapak pemandu yang saya temui siang itu di teras istana, “Mereka menghindari sengketa yang tidak perlu. Itulah mengapa Kerajaan Siak tumbuh pesat dan punya kemampuan diplomasi hingga ke Eropa.”
Saya melepas alas kaki di depan pintu istana. Butuh beberapa saat bagi saya untuk membiasakan telapak kaki ini bersentuhan dengan tegel-tegel marbel yang dingin. Ruang-ruang Istana Siak Sri Indrapura memang terlihat menerima banyak pengaruh dari Eropa. Bak miniatur Museum Louvre di Paris, di setiap sudut istana ini dihiasi oleh patung-patung perunggu era Revolusi Industri.
“Kesultanan Siak Sri Indrapura sangat kaya. Belanda mencatat Sultan Siak mempunyai hampir dua ratus kapal dagang yang berlayak bolak-balik di Selat Malaka,” pungkas si bapak pemandu seraya tersenyum, “Ketika Indonesia merdeka, Sultan Siak juga menyumbangkan tiga belas juta gulden. Konon itu sumbangan terbesar dari sultan manapun di nusantara. Ayo masuk, kamu akan melihat lebih banyak lagi di dalam.”