Panasnya udara siang itu benar-benar jahanam. Saya berteduh di bawah pondok bambu beratap rumbia bersama seorang bapak tua yang nampak terdiam di tepi sungai. Seorang pria tua lain berjalan mendekat kemudian berlutut di tepi sungai dan mulai mengikat batang-batang kayu. Inilah Sungai Rokan yang telah menjadi urat nadi perekonomian Bagansiapiapi sekian abad lamanya.
Pendangkalan demi pendangkalan yang dialami Sungai Rokan telah membunuh deru ekonomi berbasis perikanan di tanah ini. Kurang lebih seratus tahun silam, Bagansiapiapi merupakan penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Bergen di Norwegia. Namun seiring dengan menyusutnya ikan di leher Selat Malaka dan Sungai Rokan, industri perikanan pun memudar.
Saya berdiri di ambang Sungai Rokan, menatap Selat Malaka yang terhampar tidak jauh dari tempat saya berdiri. Di sana lautan nampak berwarna biru muda sementara air sungai nampak kecoklatan. Perubahan warna yang begitu kontras terlihat kentara tepat di leher Sumatera dari warna biru terang menjadi cokelat kopi.
Meredupnya prominensi Sungai Rokan adalah simbolisme dari meredupnya Kota Bagansiapiapi. Lokasinya yang tersudut di Sumatera dan tidak berada pada lintasan utama Trans Sumatera secara tidak langsung telah mengancam keberlangsungan kota ini. Barangkali peradaban kota yang kaya sejarah ini akan terus meredup hingga akhirnya padam sama seperti sunyinya Sungai Rokan siang ini.