Perjanjian Setan dan Manusia

Pada penghujung dekade 1920-an, Bagansiapiapi dilanda kehebohan. Kota penghasil ikan yang terletak di pesisir Sumatera ini diganggu oleh hantu-hantu poltergeist. Mulai dari rumah makan, kedai kopi, hingga tempat hiburan disusupi oleh hantu-hantu yang mengganggu ketenangan warga Bagansiapiapi.

Biksu-biksu menengarai bahwa hantu-hantu ini datang dari lautan Selat Malaka, mereka berpindah karena suatu sebab. Tingkah polah hantu-hantu ini cukup nyentrik lantaran mereka menimbulkan suara-suara berisik di seantero kota, mulai dari suara orang mandi hingga suara orang bernyanyi. Yang lambat laun menimbulkan kerisauan bagi warga kota. Adapun kemudian mereka berkumpul dan menemui biksu-biksu suci untuk meminta petunjuk.

Sayangnya, para biksu di Bagansiapiapi pun pada waktu tersebut tidak menemukan jawaban. Alhasil mereka harus menghubungi tetua mereka di daratan Taiwan yang kemudian menyarankan agar masyarakat Bagan membuat perjanjian dengan para setan. Berdasarkan pesan para biksu, masyarakat Bagansiapiapi membangun tempat-tempat hiburan simbolis dari bambu dan kertas, mulai dari kedai kopi, tempat hisap candu, bandar judi, hingga rumah bordil.

Di sanalah para setan dipersilakan menghibur diri selama satu minggu penuh.

Sepungkas satu minggu tersebut, para biksu membuat perjanjian dengan para setan, yaitu melarang mereka untuk kembali ke Bagansiapiapi dan mengusir mereka semua kembali ke lautan lepas. Untuk menandai perjanjian ini, dibuatlah prasasti bertuliskan Lam Hu Omitohud, alias nama Sang Buddha. Setiap kali setan naik ke daratan dan membaca tulisan pada prasasti tersebut, mereka akan membatalkan niat dan berputar balik ke lautan.

Tugu kecil ini berdiri di pinggir jalan raya Bagansiapiapi, begitu kecil dan tidak menarik perhatian. Namun dari catnya yang terlihat baru, nampak bahwa masyarakat Bagansiapiapi begitu merawat kelestarian tugu ini. Tugu ini tidak boleh dirusak ataupun dihilangkan, apabila tugu ini hilang maka seluruh perjanjian dengan setan akan dibatalkan.

Sore itu berdiri di tengah keramaian pasar kota, di simpang jalan tugu itu saya berlutut dan mengambil beberapa gambar. Beberapa tukang becak mengamati gerak-gerik saya seakan-akan saya adalah seorang alien dari planet lain. Namun saya tidak peduli. Kali ini saya bisa tersenyum lebar lantaran akhirnya berhasil menyaksikan objek yang begitu tidak biasa.