Langit Merekah di Sawarna

Angkasa seakan dikutuk dengan warna nila. Seumur-umur, baru pertama kali saya melihat matahari terbenam dengan bauran warna janggal seperti di Pantai Sawarna. Langit yang semula berwarna biru cerah mendadak lebur dalam semburat merah merona, paduan keduanya mencetak warna-warni nila apik di cakrawala bagaikan bentang tanpa ujung.

Senja itu saya lewatkan duduk di sebuah pondokan kecil bersama Ian, menikmati dua potong ikan bakar yang kami santap sembari menunggui benamnya sang mentari di ufuk barat. Tidak banyak yang saya lakukan selain berkutat dengan kamera. Pantai Sawarna pada sore itu kosong tidak terlihat banyak orang menunggui.

Seorang ibu muda nampak menggandeng anaknya menyusuri paparan pantai, berkejaran dengan gelap malam yang akan segera tiba. Selain mereka berdua tidak terlihat sesiapapun di sana. Debur-debur ombak Samudera Hindia menjadi satu-satunya suara ambien senja yang selebihnya adalah kesenyapan tidak bertuan.

“Sawarna dulu benar-benar sepi,” celetuk saya kepada Ian, “Suasana seperti ini dapat kita temukan sepanjang hari sekitar sepuluh tahun yang lalu. Namun sekarang untuk mendapatkan suasana sepi kita harus menunggu semuanya gelap terlebih dahulu.”