“Kok suram ya siang begini?” tanya Heri sambil menerawang jauh ke luar dari jendela penatapan, memandang lepas ke arah luasan Danau Toba di bawah sana.
“Kabut asap dari Riau,” jawab saya singkat.
Heri dan Simon terlihat demikian kecewa. Memang. Kabut asap dari Riau sudah beberapa minggu menenggelamkan pemandangan cantik danau terluas di Indonesia ini, menjadi remang-remang suram. Namun bagi saja nuansanya menjadi misterius lantaran tidak seluruh luasannya tersibak.
Musik meriah memenuhi seantero ruangan, layaknya bauran campur aduk nan merancak antara dansa, dangdut, dan ska. Menemani semerbak kopi pekat yang berdiam di depan hidung saya.
Nang pe hamu angka dongan, da na tinggal di nadao,
Talean ma rohatta, lao padengganhon i,
Tao toba na massai uli,
Nampuna ni hita halak batak i
Danau Toba nan indah sekali. Kurang lebih demikian yang dicoba disuratkan oleh lagu populer Batak gubahan Korem Sihombing tersebut. Tidak salah. Bahkan di bawah bayang-bayang kabut kelabu pun Toba masih nampak begitu indah.
“Ayo kita lanjut perjalanan,” ajak Simon, “Kita tidak boleh lama-lama di sini karena sebelum hari gelap kita sudah harus berada di Samosir.”
Entahlah. Saya tidak paham sejauh mana Pulau Samosir dari tempat ini. Mungkin masih setengah hari lagi atau mungkin lebih? Bagi saya perjalanan lintas Sumatera Utara ini baru dimulai, dari sebuah awalan di dentum Medan metropolitan hingga saat ini berdiam diri di kesunyian di atas hampar Danau Toba.