Ditilik dari bangunan-bangunan tuanya di sisi kanan kiri jalan, saya yakin tempat ini punya sejarah panjang. Tidak salah. Pada masa Kesultanan Siak Sri Indrapura, Selatpanjang adalah bandar yang sangat hidup. Bersama kota-kota pesisir tanah Riau macam Bengkalis dan Bagansiapiapi, kota ini menjadi pelabuhan nelayan dan persinggahan bagi para pedagang Tiongkok.
Dengan posisinya sebagai gerbang perahu-perahu pedagang, Selatpanjang maju pesat menjadi kota yang ramai. Masyarakatnya pun lambat laun mengalami akulturasi, perbauran antara budaya Melayu dan Tiongkok, yang dimediasi oleh kepentingan bisnis.
“Apakah saya boleh masuk?” tanya saya kepada seorang encik yang sedang menyapu halaman vihara. Tidak berbicara banyak, beliau hanya mengangguk kemudian melanjutkan menyapu.
Siang itu saya berkesempatan untuk mengunjungi kota bersejarah ini. Kini dengan delapan puluh ribu jiwa yang mendiaminya, episenter Selatpanjang didominasi oleh etnis Tionghoa yang hidup berdampingan dengan berbagai suku, utamanya Melayu, Jawa, dan Batak.
Namun waktu sepertinya tidak terlalu ramah terhadap kota Selatpanjang. Menjelang pertengahan abad yang lalu, naik turunnya perekonomian daerah ini dan bayang-bayang melimpahnya minyak bumi di bumi Riau membuat kota perikanan ini terabaikan. Bahkan beberapa dekade berikutnya Selatpanjang meredup dari peta nusantara.
Tujuh tahun lalu, pemerintah republik memutuskan untuk menyerabut Selatpanjang dari naungan induk semangnya, Bengkalis. Sebuah kabupaten baru bernama Kepulauan Meranti diresmikan dengan Selatpanjang sebagai ibukotanya. Perlahan-lahan momentum kebangkitan masa silam itu kembali terasa seiring kembalinya tongkat komando ke tangan Selatpanjang.
Di bawah mendung, saya berjalan seorang diri menyusuri jalanan kota yang ramai. Riuh rendah pedagang pasar yang mereka sebut sebagai Pasar Serampangan mengisyaratkan ekonomi tanah ini sudah kembali berdenyut. Sementara di jauh sana sedikit sedikit terlihat gedung-gedung baru sedang dibangun. Saya percaya, Selatpanjang akan berlari lebih kencang.