Salam Jumpa Tanjungpinang

You are going to Tanjungpinang. Aren’t you?” tanya laki-laki keturunan India, pengawas imigrasi Bandara Internasional Changi, dengan nada berusaha meyakinkan dirinya sendiri, “Today, right?

Yes. Today. Even right now. Right from this airport, I plan to go directly to Tanah Merah and catch the boat to Tanjungpinang,” jawab saya sambil menyerahkan tiket kapal cepat.

Hari ini saya berangkat dari Jakarta ke Tanjungpinang. Lewat negara orang. Perjalanan dari Indonesia ke Indonesia lewat Singapura lazim dilakukan penjelajah berkantong cekak. Menarik. Walau Tanjungpinang mempunyai pelabuhan udara sendiri, namun melimpahnya tiket promo dari Jakarta menuju Singapura acapkali membuat perjalanan ke Pulau Bintan menjadi lebih murah lewat negara lain!

Tanjungpinang bukanlah kota kemarin sore. Kota ini punya sejarah panjang sebagai salah satu episenter peradaban Bangsa Melayu. Pengaruh historis yang kental tersebut memantapkan Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi Riau sebelum akhirnya tongkat komando dialihkan kepada Pekanbaru. Ketika provinsi Kepulauan Riau dipisahkan dari provinsi Riau beberapa tahun silam, Tanjungpinang kembali ditetapkan menjadi ibukota provinsi untuk kedua kalinya.

“Temui saya di Kedai Kopi Jalan Bintan,” kata Hasyim melalui pesan media sosial, “Saya juga baru pulang dari jalan-jalan bersama keluarga di Malaysia.”

Hasyim bukanlah perkecualian. Secara daya jangkau geografis, Tanjungpinang memang boleh dikatakan sangat beruntung. Kota ini mempunyai akses langsung menuju empat kota penting Asia Tenggara, yaitu Singapura, Jakarta, Johor Bahru, dan Batam. Bukan barang aneh apabila aktivitas internasional dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat kota ini.

Hujan semalam suntuk membasahi lajur sempadan pantai Tanjungpinang. Mendung masih menggelayut rendah menaungi penduduk kota yang berolahraga pagi pada akhir pekan. Kedatangan saya ke kota yang didominasi oleh etnis Melayu dan Tionghoa ini adalah untuk menyaksikan sebuah permata kebudayaan Bangsa Melayu. Bukan barang biasa, karena permata ini berwujud sebuah pulau. Ya, pulau.

Gerimis mengiringi perjalanan saya menyusuri jalan-jalan kecil Tanjungpinang. Suara pengemudi becak memanggil-manggil dari tikungan hanya saya balas dengan senyuman. Tidak jauh, terlihat Hasyim sudah menunggu saya di depan kedai.